Bg Arbi, akhir akhir ini aku berpikir, mungkin semua ini bukan kesalahanmu. Aku pasti terlibat dalam semua rasa sakit yang harus kita tanggung.
Atau mungkin, semua ini bermula dariku. Bukankah aku yang membuatmu harus memberiku banyak harapan?
Barangkali sudah sejak lama kamu ingin memberitahuku tentang kebenarannya, tapi melihatku yang semakin hari semakin cinta, membuatmu tak bisa berkata jujur.
Bahwa semuanya tak seperti yang ku inginkan. Bahwa aku sudah terlalu banyak berharap padamu. Dan kamu terpaksa memenuhi semua harapan yang kuletakkan di pundakmu.
Akankah lebih baik jika dulu kita tak pernah terlibat perasaan apapun? Aku lelah membayang bayangkan kamu akan datang kembali padaku.
~~~~~~~~
Bona memasukkan sumpit yang berisi ifumie ke dalam mulutnya. Ia sedang ada di pantry dapur, menikmati sarapannya yang tak sempat ia makan di kos. Raya ikut membantu melahap ifumie tersebut.
“Na, gue seneng banget hari ini,” Raya mulai nyerocos, seperti biasa wajahnya bersemu merah jika ia sedang bahagia.
“Lo jalan sama bg Elwin?” tebak Bona ngasal. Elwin adalah lelaki yang telah berkeluarga yang sudah di gauli Raya selama enam tahun.
Raya pernah menunjukkan fotonya pada Bona, menurut Bona sama sekali tidak menarik. Elwin seperti kebanyakan lelaki beristri lainnya, perutnya lumanyan buncit. Bona paling tidak suka dengan cowok berperut buncit.
“Ada yang lebih anyar sih daripada sekedar jalan dengan bg Elwin.”
“Lo jalan sama pelanggan lagi?” Bona mulai dongkol. Pasti deh tuh, Raya keluar dengan siapa kek demi mendapatkan uang saku untuk bisa membeli sesuatu.
Raya tersenyum manis, sama sekali tidak merasa bersalah. “Gue jalan sama bg Arbi Na, semalem,” ucapnya semangat, yang sesaat itu langsung membuat Bona bengong.
“Bg Arbi orangnya keren banget ya, gue kayaknya suka betulan deh sama dia,” tambah Raya lagi yang mengabaikan ekspresi wajah Bona.
Gerakan sumpit Bona di piring terhenti, ia bingung harus bereaksi bagaimana. Ia berusaha menata hatinya berpikir itu bukan Arbi pacarnya. Nama Arbi terlalu umum, jadi mereka pasti punya nama pelanggan lain yang sama.
“A-ar-arbi... yang?”
“Iya, yang kemaren loh, yang udah lebih dari dua bulan kemaren datang kesini, yang ganteng banget itu. Dua bulan kemaren gue pernah bilang kan sama lo kalo gue jalan sama dia, nah tadi malem kita juga pergi jalan."
"Ngomong sama dia seru banget tau ngak sih Na, ngomingin apa aja sama dia nyambung. Trus lo tau ngak, dia ngasih gue uang lagi loh, sejuta, banyak banget kan cuma untuk nemani dia makan malem doank.”
Panjang lebar Raya bercerita, semangat sekali. Lebih semangat daripada saat bercerita sebelumnya.
Mata Bona memerah, tangannya gemetaran.Pacarnya pergi jalan dengan temannya? Bukankah Arbi bilang dulu ia meminta nomor Raya hanya untuk bisa mendekati dirinya. Arbi sama sekali tak pernah mengungkit atau membicarakan Raya selepas itu, ia tampak seolah olah hanya fokus dengan hubungan mereka berdua.
Dan demi menghargai Raya, Bona tak pernah menceritakan hubungannya dengan Arbi kepada Bona.
“Kok diem aja sih Na, nanti siang kita pesen makanan ya, lo mau apa? Tenang aja, uang bg Arbi banyak sama gue kok.” Cerocos raya lagi yang tak mengerti suasana.
“Ya, perut gue sakit. Gue duluan ya.” Bona buru buru meninggalkan Raya dengan menyembunyikan mata merahnya, ia segera menuju toilet.
Bona menyandarkan tubuhnya ke dinding, terlalu terkejut sampai ia butuh topangan. Kenapa? Ada puluhan pertanyaan kenapa yang menyerang otaknya. Ia sama sekali tak punya firasat apapun semalam soal Arbi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Nol (Complited)
RomanceHubungan Bona dan Arbi sempurna. Bona amat bahagia memiliki lelaki seperti Arbi. Pejabat di KPK, memiliki tubuh menawan, sikap dewasa yang mengajari banyak hal dengan lembut membuat Bona berpikir akan memiliki Arbi selamanya. Sampai Bona dihadapkan...