Suara beradu kulit baru saja terdengar. Panas segera menjalar di pipi kirinya. Sedetik yang lalu, sebelah tangan cantik mendarat di pipinya tanpa aba-aba. Dia mengumpat pelan, tapi tidak marah. Meski semua mata pengunjung restoran menatap penuh rasa ingin tahu atau bahkan menunggu drama lanjutan.
Tidak akan. Jangan harap.
Juna segera memasang ekspresi terbaiknya. Dia akan menjelaskan sekali lagi. "Calm down, Babe. Kita dilihatin semua orang. Percaya sama aku, yang jalan sama aku kemarin malam, itu Karenina. Dia teman, no, sahabatku. Kenapa mesti terhasut sama temenmu sih?"
Sebuah ponsel kemudian terlempar ke tengah meja. Juna mengambilnya dengan tenang. Dilihatnya sebuah foto yang menampilkan Karenina menggelayut manja dan mereka tertawa di salah satu mal ibu kota. Ya terus kenapa? Dia sudah jelaskan kalau mereka bersahabat. Perempuan di depannya masih saja menatapnya garang.
Juna menyandar di kursi, menyatukan kedua tangannya. Nyengir lebar, menjawab apa adanya. "Karenina minta ditemenin ketemu designer kemarin. Terus pulangnya mampir mal. Aku longgar, jadi ya-"
"Kamu begini juga ke mantan-mantan kamu?"
"Begini gimana?" Dia tidak sebodoh itu. Hanya saja, melihat ujung dari hubungan ini akan bagaimana, sekalian saja dia buat perempuan ini sekesal mungkin.
"Membiarkan mereka nampar kamu, dan setelah ditampar, kamu masih bisa cengengesan?"
Juna menyeringai. "Kamu keberatan dengan sahabatku? Mereka nggak cuma satu lho."
"Maksud kamu?!"
"Sebelum kita pacaran, aku kan udah jelasin kalau aku punya tiga perempuan yang nggak bisa aku jauhin demi alasan menjaga perasaan pacar. Lupa?"
Perempuan di depannya tampak terdistraksi. Alisnya berkerut. Mencoba mengingat.
"Tapi kenapa harus semesra itu?"
"Kamu keberatan?"
"Iya! Kenapa pakai nanya segala? Jelas iya. Coba bayangkan kamu yang ada di posisiku. Lihat pacarnya ketawa-ketawa mesra sama perempuan lain."
"Nina sahabatku." Kurang jelas gimana sih kalimat Juna?
"Sahabat? Laki-laki dan perempuan bersahabat? Bullshit, Jun, bullshit!"
Juna menghela napas. "Oke, mau kamu apa?"
"Aku nggak mau lihat hal serupa terjadi lagi."
Lah, nggak langsung minta putus aja?
"Aku nggak bisa."
"Maksud kamu?!"
"Kamu nggak cukup untuk dijadikan alasan, Honey." Juna mulai kesal. "Mungkin besok-besok kamu bakal lihat aku jalan sama Danisha, nungguin dia di belakang panggung dengan sabar. Nemenin Vian berkebun dan baca buku bareng. My life just pretty simple kalau kamu mau sedikit toleran. Aku bahkan nggak nuntut apa-apa selama kita pacaran tiga bulan ini, 'kan?"
Wajah perempuan di depannya sudah merah padam, tapi Juna-meski kesal-masih menunjukkan wajah ramahnya. Danisha bilang, ini wajah playboy cap kadal.
"Tapi kamu nggak bisa gitu, Jun!"
"Bisa. Sama ketika aku ngasih kamu kebebasan. Nggak nuntut ini-itu, yang artinya nggak mendikte kamu menjadi sosok yang aku mau. Aku juga berharap sama, kamu nggak mendikte aku harus jauhin sahabat perempuanku demi memuaskan ego, cemburu atau apalah itu."
"Kamu nggak ngerti, di mata temen-temenku-"
"Jadi, yang jalani hubungan ini, aku sama kamu, atau aku sama temen-temenmu?"
"KAMU EGOIS!"
"Ya, katakanlah aku egois." Juna pasrah, lelah berdebat. Seharian ini dia sibuk mobile dari satu gedung ke gedung lain. "Aku begini adanya. Kalau kamu nggak bisa terima, ya udah."
"Ya udah?!"
"Iya. Ya udah. Dibikin gampang aja sih." Karena perempuan tak kunjung sampai ke inti, Juna yang harus mengakhiri. "Kita putus."
"WHAT?!"
***
Say hi to Juna!
Anak baru yg mungkin prematur.
Diketik di note hp, tanpa diedit di ms.word.
Kalau ide lancar, bakal fast update. Kalau ngadat, ya sabar aja yaa 😬😬😬Diketik: 29/03/2019
Direvisi: 27/09/2021
Repost: 03.11.2021
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...