“Jun, matiin aja AC-nya.”Lima menit kemudian.
“Jun, laper.”
Lima menit lagi.
“Jun, udah tidur?”
“Belum. Mau deliver makanan?”
Danisha menggumam. “Nggak usah.”
“Terus mau apa?”
“Gue nggak bisa tidur. Temenin melek ya.”
Juna memiringkan tubuhnya. Menghadap ke dinding biru laut. Sore tadi, Danisha meneleponnya. Minta ditemani malam ini. Juna kira hanya menemani seperti biasa. Tapi tahunya, Danisha memang sedang memikirkan sesuatu dan Juna sebal jika harus menebak-nebak.
“Cerita aja.”
“Tadi siang ketemu dokter. Tapi nggak ketemu Mama.”
“Lalu?”
“Mama sempat drop tadi pagi, Jun.”
Juna menghela napas. Menatap bilah papan di atasnya. Tempat Danisha tidur. “Dan ....”
“Gue takut, Jun.” Suara Danisha bergetar. “Gue cuma punya Mama. Satu-satunya alasan gue bertahan sampai sekarang.”
Lo masih punya gue, Nina dan Vian.
“Danisha, kita memang harus percaya. Entah percaya akan membawa kita pada kemungkinan yang baik atau buruk. Ada kalanya percaya membuat kita lega, ada saatnya percaya mendorong kita ke tepi jurang.”
“Mama bakal sembuh.” Danisha sedang membohongi dirinya sendiri. Lupus yang diderita mamanya sejak dua tahun lalu, nyatanya sampai sekarang tidak ada obatnya.
Juna bangkit dari kasurnya. Dia berdiri lurus menatap kepala Danisha di atas bantal. Di atas telapak tangan Danisha yang terbuka, Juna melarikan tangannya ke sana. Merasakan jemari perempuan itu yang dingin.
Pada pembatas ranjang, Juna menumpukan dagunya. Menatap lebih dalam Danisha yang kosong. Satu tangannya yang bebas dia gunakan untuk mengusap lembut kepala perempuan itu.
“Ingat pertama kali kita ketemu?”
Danisha diam. Satu titik menetes ke atas bantal.
“Arsena ngefans sama kamu. Kamu pasti ingat gimana nyebelinnya dia. Ngikutin kamu ke mana-mana. Pas kamu ulang tahun, dia yang niup sendiri semua balon. Pasang di dinding-dinding.”
“Jun,”
“Suatu hari, dia pernah bilang begini. ‘Awas ya, Jun, kalau kamu sampai nakalin Danisha. Aku bakal benci kamu selamanya’. Iya, dia segitunya. Padahal seorang Sena nggak pernah main ancam. Itu kali pertama aku lihat dia jatuh cinta, Dan.”
“Jun, udah.”
“It's fine for me, Dan. Aku nggak apa-apa. Aku cuma mau bilang ... kehilangan itu memang menyakitkan. Untuk kita yang ditinggalkan, memang menyakitkan. Tapi untuk mereka yang pergi, mungkin saja itu yang terbaik.” Juna menggenggam tangan Danisha lebih erat.
“Kita semua berharap yang terbaik. Mama kamu sudah berjuang, Dan. Kamu juga. Kalau besok-besok, kabar buruk itu datang ... jangan terlalu hancur ya.”
“Kamu nggak adil, Jun.”
Juna tersenyum.
“Kamu nyuruh aku untuk nggak terlalu hancur. Tapi ketika kamu kehilangan Sena, kamu hancur sehancur-hancurnya ....” Menghela napas, menatap sendu pada Juna. “... bahkan sampai sekarang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...