“Sudah lama nunggunya?”
Danisha segera tersenyum ketika mendapati orang yang dia tunggu sudah berdiri di depannya. Lelaki dengan kemeja yang lengannya sudah dilipat hingga siku. Wajah lelahnya mencoba tersenyum. Danisha sangat menghargai itu.
“Belum, Wa. Aku ganggu ya?”
“Nggak sama sekali. Aku yang minta maaf karena telat. Biasalah, anak-anak suka caper.” Sama sekali tidak terdengar seperti keluhan karena wajahnya berseri. Danisha tersenyum.
“Wah, sainganku banyak.”
“Kalau kamu mau aku bisa singkirin mereka,” guraunya.
Meraih buku menu seraya terkekeh. “Mau dengan cara apa nyingkirinnya?”
“Santet aja gimana, yang cepet.”
Danisha tertawa. Mereka kemudian memilih menu. Seorang pramusaji mencatat pesanan mereka dan berlalu.
Restoran di atap itu tampak bermandikan cahaya di malam hari. Jika mengedarkan pandangan maka akan menemukan titik-titik cahaya dari bukit yang berpenghuni. Langit berbintang juga rasanya dekat sekali. Danisha yang biasanya mengenakan serba hitam, kini mengenakan dress selutut bermotif floral. Rambut panjang yang biasa dikucir, kini dibiarkan tergerai dengan ikal di bagian ujung. Terlihat manis dengan sapuan make-up sederhana.
Dewa sempat tertegun mendapati Danisha dengan dress itu. Dia beberapa kali bertemu dengan perempuan ini dalam balutan baju dan celana serba hitam. Malam ini, Danisha jauh lebih cantik. Dia ingin memuji, tapi kalah dengan jantungnya yang berdebar. Akhirnya hanya berani menatap Danisha lekat-lekat. Terpesona setengah mati.
“Kamu ke mana minggu ini?”
“Semarang kemarin. Besok sekitaran sini aja.”
Dewa meraih tangan Danisha yang ada di atas meja. “Besok jam berapa acaranya? Boleh aku lihat kamu nyanyi?”
“Memang kamu nggak sibuk, Wa?”
“Akan aku sempatkan. Jam berapa acaranya?”
Malam ini indah, langit menampilkan semburat yang menawan. Taburan bintang dan bulan sabit mengintip malu-malu di sana.
***
Dafa menggelayut di kaki kanan Juna ketika mereka sedang antre di kasir minimarket. Juna masih sibuk membalas chat Vian. Memastikan banyak hal. Dia sudah menawarkan diri untuk menginap—tadi sore perempuan itu sudah boleh pulang—tapi Vian menolak. Mungkin nanti kalau Juna tetap khawatir, dia akan langsung datang saja. Kalau masih ditolak juga, dia akan nekat tidur di teras.
“Nikah deh, Bang. Udah cocok tuh bawa anak.” Penjaga kasir menggodanya. Kali ini sepertinya lupa menawarkan rokok.
Bukan hanya Dafa yang menggelayut manja, Rafa ikut-ikutan menempel di kaki satunya. Juna harus menyeret kakinya yang berat mendekat ke meja kasir saat antreannya sudah tiba.
“Nikah, nikah, lo gampang banget ngomongnya kayak beli cabe di pasar.”
“Yaelah, nunggu apa lagi sih, Bang? Sahabat-sahabat lo cantik semua, tinggal tunjuk.”
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...