42. Deep Down

1.7K 327 41
                                    

“Ngapain bawa bayik, sih?”

Juna mengangkat bahu. Dafa yang semula membenamkan wajah di dada Juna, menoleh dengan mata sembap.

“Ini bayik berantem sama kembarannya, ya udah gue bawa satu.” Juna menaruh payung kemudian menyusul duduk di bangku pinggir lapangan. “Ngapain tiba-tiba ngajak ke sini?”

Lapangan serba guna itu ada tak jauh dari kos Juna. Selalu terlewatkan oleh mereka. Ini yang pertama mereka menyambangi tempat ini.

“Tuh Nina pengin futsal. Gabut kali.” Danisha menunjuk Nina dengan dagunya.

Nina menoleh sedih. “Hujan tapi. Cuma pengin tendang-tendang bola sih.”

Sambil menyibak rambut Dafa yang mulai memanjang. “Nikah gih sana. Kalau ngidam ada suami yang nurutin.”

Nina mendecak. “Nggak semua masalah selesai dengan lo nikah." Menambahkan. "Badan gue kaku semua. Jarang olahraga.”

“Nge-gym sama Danisha tuh.”

“Banyak godaan, Jun. Takut silap mata.” Tiba-tiba Nina menarik lengan Juna. “Apa bener kalau cowok berotot itu homo?”

“Hah?”

“Nggak semua,” sahut Danisha.

“Lo pas nge-gym dulu suka dikedipin sama mas-mas berotot nggak?” Pertanyaan absurd barusan terdengar wajar kalau keluar dari mulut Nina.

Semua kompak menoleh ke Juna. Menunggu jawaban. Awalnya Juna tampak mencoba mengingat, lalu menghela napas.

“Gue yang kedipin mereka,” kerling Juna, lalu menutup kedua telinga Dafa.

“Kampret ya!”

“Anjir!”

Vian bereaksi polos. “Terus mereka kedip balik?”

“Astaga. Gue cuma bercanda, Vian Sayang.” Juna tergelak, menyingkirkan tangan dari telinga Dafa. “Ya yang begitu pastilah ada. Katanya, mereka emang punya radar sendiri buat nemuin yang sejenis. Kalau gue mah jelas nggak masuk radar mereka.”

“Jelaslah, dari muka udah kelihatan cewek lo sekarung.”

“Sekarung. Duh, kayak kucing aja.” Vian terkekeh.

“Justru itu yang nyelametin gue, Gais. Kalau gue nggak player ke perempuan, ya gue player ke mereka—”

“Udah, udah, gue geli bahasnya.” Danisha memotong kesal.

Juna menatap lapangan yang basah. Belum ada tanda-tanda jika hujan akan reda. Dia semakin mendekap Dafa di dadanya. Terdengar dengkuran halus. Anak ini sudah tertidur. Syukurlah.

“Senin berapa hari lagi?”

“Empat hari lagi. Kenapa?” Vian menjawab cepat.

“Gue minta luangin waktu ya. Nggak lama kok. Paling sejam doang.”

“Buat apa?”

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang