Pipinya terasa ditepuk oleh jari-jari mungil. Setelah ditepuk, ditekan-tekan. Di bagian punggung, dia juga merasakan sebuah beban. Tapi mata Juna enggan membuka. Dia sadar kalau ada dua tuyul yang menginvasi kamarnya.
Lagi-lagi pasti karena Juna lupa mengunci pintu. Juna pasrah saja pipinya ditoel-toel atau dipencet lagi. Serius, dia masih mengantuk. Mana harum bedak semakin menusuk hidung. Anak-anak ini rupanya sudah mandi.
Kalau mereka sudah mandi, berarti ini sudah lumayan siang. Juna mengerjap, membuka mata. Lalu seketika dihujani ciuman di pipi. Juna yang semula tengkurap, cepat berbalik dan meraih tubuh Dafa. Membuat bocah itu terguling ke kasur dan terperangkap dalam lengan Juna.
“Lafa juga mau!!!”
Juna membuka lengan lebih lebar. Rafa lompat dan segera merapat. Dafa kesal karena dia kena dorong. Juna heran, selain anak-anak ini suka merusuh di kamarnya, suka juga mengganggu tidurnya. Keduanya terkekeh dalam dekapan Juna. Entah senang karena berhasil membangunkan Juna atau memang anak-anak ini suka bau tubuhnya.
“Om, es klim.”
“Iya, sore ya.” Juna mengingat jadwal.
“Om kelja?”
“He’em.”
“Jam belapa?”
Juna meladeni. “Jam sepuluh.”
Tiba-tiba, si Kembar terhenyak. Kompak bangun dari dekapan Juna. Menuruni kasur dengan cepat. Berlari keluar. Entah ke mana. Juna menguap sekali lagi, meraih ponsel di meja. Membuka beberapa pesan yang masuk, membalas seadanya. Lalu menyeret tubuhnya untuk bangun. Mengucek mata beberapa kali. Juga menggaruk punggung.
Terdengar suara ribut dari luar. Juna beringsut ke tepi kasur. Baru saja hendak berdiri, melihat siapa yang berisik, Mas Rizki sudah muncul di pintu. Membawa sepiring nasi goreng dan segelas susu. Eh?
“Mau numpang sarapan, Mas?”
“Bukan. Ini anak-anak ribut mau ngambilin sarapan buat lo.”
Pandangan Juna turun ke dua bocah yang menggelayut di kaki papanya. Hatinya tiba-tiba menghangat.
“Gue taruh di meja.” Mas Rizki kemudian pergi. Tugasnya ‘mengantar’ sarapan sudah selesai.
“Makasih, anak-anakuwh.” Juna berdiri, hendak memeluk mereka. Tapi si Kembar berlagak sok cool, melengos ke kasur. Bekerja sama untuk merapikan kasur. Melipatkan selimut dan menata bantal. Meski tidak serapi yang Juna harapkan. Tapi, setidaknya, pagi ini mereka manis sekali.
Aduh, kesambet apa sih mereka?
Biasanya juga merusuh di kamarnya. Menjadikannya kapal pecah. Kalau membangunkan pun, seringnya kaki Juna digelitiki dengan bulu kemoceng. Atau yang paling menyebalkan, lubang hidung Juna digelitik dengan lintingan tisu. Membuat bersin dan mau tak mau Juna terbangun. Kesal setengah mati. Tapi melihat ringisan kedua bocah itu, Juna tak pernah bisa marah. Paling-paling dia cuma lapor ke Mbak Nana, kalau anaknya jail nauzubilah.
Kenapa tidak lapor ke Mas Rizki? Anak dan bapak sama saja.
Juna yang sudah mengambil handuk, terhenti saat ponselnya bergetar. Juna kembali duduk di tepi kasur. Si Kembar sedang menyapa ikan-ikan di akuarium, menaburkan makanan. Asyik melihat para ikan makan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...