36. Escaping

1.5K 287 24
                                    

Mobil yang dikendarai Juna memasuki gerbang kompleks. Ketika dia melihat sosok yang dikenalnya, Juna menurunkan kaca jendela. Tersenyum lebar. “Mas Jaka!”

“Eh, Juna!”

Menghentikan laju mobil, Juna mengulurkan satu tangannya. Menyalami terlalu bersemangat.

“Nginep berapa lama, Jun?”

“Empat hari, Mas.”

“Oke, nanti kuajak keliling alun-alun!” Jaka kemudian beralih menatap ke jok belakang. Mengangguk sopan.

Juna mengacungkan jempol dan kembali melajukan mobilnya. Dia tak hentinya mengembangkan senyum. Terakhir dia ke sini lebaran tahun lalu. Tidak banyak yang berubah memang. Entah itu bangunan atau penduduk yang dikenal baik oleh Juna dan juga sebaliknya.

Lihat saja, ketika Juna memarkirkan mobil di halaman, salah seorang wanita paruh baya sudah berseru. “Juna pulang, Astri!! Juna pulang!”

Dari spion, Juna melihat di belakang sana Budhe Rum senang bukan main. Mematikan mesin mobil, Juna keluar. Tak hanya Budhe Rum, datang lagi Bulek Astri yang tergopoh-gopoh membawa gayung—sepertinya sedang menyirami bunga tapi langsung lari begitu Juna datang.

Juna mengulurkan kedua tangannya, menjabat tangan mereka satu per satu, mencium punggung tangan. Bahunya ditepuk-tepuk tangan gempal itu. Sedikit sakit, tapi Juna senang melihat wajah mereka berseri-seri. Dia terharu disambut seperti ini. Tapi sekaligus menyesal karena tidak sempat membelikan mereka oleh-oleh.

“Sehat-sehat tho, Le? Kamu itu lama ndak ke sini. Budhe kangen.”

“Iya, Alhamdulillah sehat, Budhe.”

Uwes makan, Le? Yuk, mampir makan siang di rumah Bulek.”

“Hayooo, hayooo. Juna biar istirahat dulu, Budhe, Bulek.” Ratih membuka bagasi bersama Nimas. Menurunkan koper. Juna sontak berbalik, mengambil alih tugas menurunkan koper.

Budhe Rum dan Bulek Astri kemudian pamit. Berpesan sekali lagi agar Juna nanti main ke rumah mereka. Dijawab dengan acungan jempol.

“Aku bisa jalan sendiri, Rat.” Selli menolak bantuan adiknya ketika dirinya hendak melangkah di undakan teras.

Ratih menurut, tapi tetap membayangi langkah kakaknya.

Rumah besar itu tampak sepi. Mbok Nah yang biasanya menemani Nimas, pulang karena anaknya sakit. Jadi, begitu pintu dibuka, Nimas segera ngacir menyomoti bantalan sofa yang berserakan di lantai dan juga bungkus snack yang berceceran sebelum ibunya murka. Juna tertawa melihat tantenya yang berkacak pinggang, menghela napas dalam-dalam, menahan omelan.

Selesai menaruh koper-koper di kamar tantenya, Juna membawa ranselnya sendiri ke kamarnya. Sejak dulu, dia memiliki kamar spesial di rumah ini. Tidak pernah diutak-atik. Beberapa baju Juna bahkan masih tertinggal di lemari.

“Mas, mau makan dulu? Kalau iya, aku beliin gudeg ceker seberang jalan raya. Mbok Nah pulang soalnya, jadi nggak ada yang nyiapin makanan sebelum kalian datang. Hehe.” Nimas melongok di pintu, refleks menutup mata dengan jemari karena Juna sedang ganti kaus.

Membenarkan kerah kaus, Juna berjalan ke pintu. “Mau hibernasi dulu, Nim. Tolong jaga pintu.”

Nimas sikap hormat dan berbalik. Tidak banyak tanya. Membiarkan Juna menutup pintu dan lekas istirahat.

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang