22. Belongs to Her

1.5K 275 31
                                    


“Vi, udah pesen taksi?” Nina bertanya di sela kegiatan Vian menata baju ke dalam tas. Hanya dua potong baju kotor.

“Juna udah jalan ke sini, Nin.”

“Kenapa mesti Juna yang jemput?” Nina segera menambahi. “Emang dia nggak ada job?”

“Juna sendiri yang nawarin buat jemput.”

“Danisha?”

“Semalam Mas Dewa ke sini. Mereka keluar, sepertinya coba nyelesaiin masalah mereka.”

“Yasmin?” Nina tiba-tiba kepikiran. Karena kemarin sore Yasmin datang ke sini, entah pulang jam berapa.

“Yasmin sibuk, Nin. Udahlah. Biasanya juga Juna. Kenapa sih? Kamu kok aneh.”

Nina mengerjap. “Aneh apanya.”

“Juna nggak marah kok.”

Iya, memang nggak marah. Tapi dua penggal kalimat Juna semalam sukses membuat Nina takut bertemu lelaki itu. Dia lebih baik melihat Juna yang mengamuk atau meneriakinya daripada mendengar dua kalimat itu terlontar dari mulut Juna.

Sekarang, bagaimana dia harus menghadapi Juna setelah topengnya dilucuti? Nina tidak tahu harus bersikap bagaimana. Juna sudah tahu semuanya. Nina sadar, tidak selamanya dia bisa menyembunyikan perasaannya. Tapi mengakuinya langsung di depan Juna juga bukan hal yang dia inginkan.

Oke, katakanlah Nina naif. Dia mempunyai perasaan untuk Juna. Lebih dari sahabat. Perasaannya memang tidak salah. Nina tidak bisa memilih jatuh hati kepada siapa. Tapi situasi ini salah. Nina tidak siap kalau—

Pintu terbuka dari luar. Nina refleks menoleh. Vian menyapa lebih dulu. “Nggak macet, Jun?”

“Nggak. Kebetulan tadi ada urusan di dekat-dekat sini. Jadi tinggal mampir.” Juna melirik tas di atas ranjang. “Udah kelar? Administrasi? Obat?”

Vian mengangguk. “Beres. Tinggal pulang.”

Juna tersenyum singkat sebelum tatapannya jatuh di Nina yang tidak mau menatapnya. Dia paham. Ini juga tidak mudah untuk Nina. Jadi, sebisa mungkin Juna bersikap biasa. Seakan kemarin tidak terjadi apa-apa. Tidak mendengar apa-apa. Meski, sumpah, dia benci situasi ini. Hubungannya dengan Nina perlahan jadi beku dan rikuh.

Ketika mereka berjalan menuju parkiran, Juna tiba-tiba merangkul bahu Nina demi mencairkan suasana. “Sekali gue lihat lo jalan sama Rian, bukan dia yang mati, tapi lo, Nin.”

Nina memang menatap Juna, sepertinya kaget dengan gerakannya yang tiba-tiba. Dia tidak membalas seperti biasanya, membuat Juna melepaskan rangkulannya dan mendahului. Membiarkan kedua sahabatnya tertinggal dua langkah di belakangnya.

***

Sampai di apartemen Nina, Juna memilih menyingkir ke jendela di dekat dapur. Sementara Vian masih di kamar Nina. Menemani. Juna ingin bergabung dengan mereka, tapi tiba-tiba ingin merokok. Jadilah dia di sini, membuka sedikit jendela dan mengembuskan asap dari sela bibir.

Tak lama, terdengar suara dari pintu. Danisha muncul di sana dengan dua plastik besar di tangan. Menyapa Juna tanpa suara, meletakkan plastik di atas meja makan dan melangkah ke kamar Nina. Hanya sebentar. Kemudian keluar, menarik kursi mendekat ke jendela, berhadapan dengan Juna.

“Semalam ke mana?” Juna membuang puntung rokok ke asbak yang dia letakkan di kusen, ketika Danisha sudah duduk di depannya. “Di rumah sakit cuma ada Vian sama Yasmin.”

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang