Oke. Mari meluruskan pikiran dan fokus ke pekerjaan. Meski tangisan Vian masih menghantui sejak semalam. Rasanya dia ingin lari ke rumah perempuan itu, alih-alih berdiri di panggung dengan mikrofon di tangan kanan.Dia tadi sudah menghubungi Danisha dan Nina. Siapa pun yang longgar di antara mereka agar menemani Vian. Juna tidak mengatakan alasannya, biar Vian sendiri yang bercerita ke mereka.
Lima menit lalu, sebelum Juna naik ke panggung dan acara ulang tahun anak pejabat ini dimulai, Nina melapor padanya. Bahwa dia sudah di rumah Vian. Mengirim foto punggung Vian yang tampak memasak.
Juna mengumpat. Kalau saja sempat, dia ingin menelepon saat itu juga. Kepekaan Nina sebagai perempuan perlu dipertanyakan. Memangnya sulit membaca ekspresi Vian? Bagaimana bisa Vian yang masih sedih justru dimintai sarapan?
Belum lagi foto yang dikirimkan Danisha. Tiga piring sop matahari dengan asap yang mengepul. Baiklah. Lain kali Juna perlu memberi alasan detail supaya dua perempuan itu mengerti situasi.
Acara selesai pukul satu siang. Juna seperti biasa, ikut briefing sebelum pulang. Ada beberapa evaluasi dan catatan. Juna yang mengantuk, menolak ketika Siska dan teman-teman yang lain mengajaknya makan siang.
Dia butuh tidur, bukannya makan siang.
Semalam dia pulang dari rumah Vian sekitar jam satu dini hari. Juna mengajak Vian berkeliling ibu kota, tanpa tujuan. Dia tidak tahu harus menghibur yang bagaimana. Vian termasuk susah-susah gampang. Kalau sedih, cukup ditemani.
“Mampir, Jun! Ibunya anak-anak bikin sop buah nih.”
Juna yang baru keluar dari mobil, menoleh kaget.
“Giliran Juna aja ditawarin. Gue deket-deket, diusir.” Andi, penghuni kos yang tampak bersantai di teras kamarnya, menyahut iri.
“Lo suka bikin si Kembar nangis, nggak perlu gue tawarin. Cukup tahu diri aja lo.”
“Apaan, Juna noh kemarin bikin si Kembar nangis juga.”
Juna mengusap wajah lelah. “Gue ngantuk, Mas. Sop buahnya buat Andi aja.”
“Gue simpen di kulkas. Nanti pas bangun, ambil ke sini.”
Andi menggenjreng gitarnya kesal. “Kau hancurkan aku dengan sikapmu. Tak sadarkah kau telah menyakitiku—”
Mas Rizki melempar sebelah sandalnya. Tepat mengenai kepala Andi. Juna sempat tertawa seraya memutar kunci kamarnya.
“Oh ya, Jun, lo dicariin cewek.” Mas Rizki mengabaikan Andi yang merengut.
“Siapa?”
“Dinar. Lo kenal?”
“Dinar, ya?” Juna menggaruk rambut. “Kenal kayaknya. Dia ngapain nyari gue, Mas?”
“Tunggu dia hubungi lo aja. Tadi dia minta nomor lo. Gue kasih ... soalnya kelihatan penting.”
“Penting?”
***
Kata ‘penting’ itu tidak main-main. Baru saja merebahkan punggung, ponsel Juna berdering. Sekali-dua kali, dia abaikan. Sampai panggilan kelima, Juna terusik. Tidur siangnya gagal hanya karena sederet nomor asing muncul di layarnya—yang sejak tadi tidak menyerah meneleponnya.
Semenit setelah menerima telepon, Juna sontak meraih kunci mobil dan jaket. Sambil mengunci pintu dia menghubungi Nina. Satu-satunya bala bantuan yang bisa diajak kerjasama. Dia tidak tahu maksud Dinar-Dinar ini mengajaknya bertemu untuk apa.
Jadi, daripada gambling, dia mengajak Nina. Sepulang dari menemui Dinar ini, dia bisa nongkrong dengan anak-anak.
“Dinar mantan ke berapa?” Nina masuk ke mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...