28. Untold

1.3K 279 39
                                    

Sudah seminggu berlalu dan Danisha gagal mengenyahkan kalimat Yasmin yang berhasil tertanam di otaknya. Membuatnya sering melamun, hilang fokus hanya demi menebak siapa yang disukai Juna. Dirinya yang biasa cuek, kini justru terjebak dengan pemikirannya sendiri.

Oke, apa boleh buat. Dia tidak bisa memendam ini lebih lama. Daripada terus mengganggu, lebih baik dia konfirmasi langsung pada Juna. Maka, ketika jam menunjukkan persis pukul sebelas malam, Danisha meraih kunci mobil di atas nakas. Dia yakin Juna belum tidur.

Jalanan masih ramai. Ketika turun ke lobi, Danisha menghubungi nomor Juna. Menanyakan keberadaan. Dengan cepat, dia melajukan mobil ke arah kos Juna. Sebelum telepon ditutup, Danisha menekankan sekali lagi bahwa ada hal penting yang ingin dia bicarakan, dan juga mewanti-wanti agar Juna jangan ke mana-mana dulu.

Kebetulan ketika mobil Danisha merapat ke kosan Juna, dia lega melihat gerbang yang masih terbuka lebar. Di tengah halaman, tikar digelar, beberapa anak kos tampak bermain kartu sambil merokok. Danisha keluar dari mobil, mendapat sapaan dari mereka dan balas tersenyum sambil meneliti. Tidak ada Juna di sana.

“Nyariin Juna, Dan?” Mas Rizki muncul dari dalam rumah, membawa segelas kopi.

“Iya, Mas.”

“Juna ada di kos? Udah janjian? Gue nggak ada lihat dia seharian ini.”

“Barusan telepon, ada di kos katanya.” Danisha nyengir sambil melipir ke kos Juna.

“Oh ya udah, coba ketuk aja. Mobilnya sih ada. Lagi hibernasi mungkin. Itu anak kalau ndekem di kamar berarti ngebo.”

Danisha berniat mengetuk, tapi urung. Dia beralih ke handle pintu. Tidak terkunci. Pintu berkerit saat dia membukanya lebih lebar.

Karena gelap, Danisha hati-hati melangkah masuk seraya meraba dinding. Dia ingat jika sakelar berada tak jauh dari pintu. Begitu lampu menyala, dia melihat punggung Juna di atas kasur. Tidak biasanya lelaki itu tidur jam segini.

“Jun ...,” panggilnya pelan, kemudian duduk di tepi kasur.

Merasa tidak direspons, Danisha mengulurkan satu tangannya. Menyentuh punggung itu. Tapi seketika ujung jarinya merasa tersengat. Dia kemudian menempelkan telapak tangannya di punggung kukuh itu untuk merasakan jika suhu tubuh Juna tidak normal.

“Jun?” Danisha naik ke atas kasur, panik membalik tubuh Juna, hanya untuk mendapati wajah itu pucat pasi. Kedua tangannya menangkup wajah lelaki itu. Menepuknya pelan. Lelaki itu setengah sadar, terlihat mencoba membuka mata.

Danisha semakin panik, berpikir cepat. “Jun, bangun. Kita ke rumah sakit.”

Dengan sisa-sisa tenaga, Juna mengerjapkan mata. Kepalanya berdenyut hebat. Ketika samar wajah itu berhasil dikenalinya, dia baru ingat jika Danisha meneleponnya beberapa saat yang lalu, mengatakan jika akan datang ke kosnya. Juna kira hanya halusinasi. Ternyata perempuan itu benar-benar di sini.

“Dibuat tidur aja, Dan. Gue nggak perlu ke rum—”

“Bangun. Gue antar ke rumah sakit!” tegas Danisha, dia berdiri dari kasur. Menyambar jaket di gantungan, kembali ke kasur. Membantu Juna bangun, gesit mengenakan jaket di tubuh lelaki itu.

Juna yang sudah tak punya kekuatan untuk mengelak, hanya pasrah saja.

Danisha juga sigap mengalungkan satu lengan Juna di bahunya, memapah keluar dari kamar. Mas Rizki yang sedang asyik menyeruput kopi sampai terbatuk melihat Juna dipapah oleh Danisha. Dia cepat-cepat menaruh kopinya di meja, berlari panik ke arah Juna.

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang