29. Imperfect Me

1.3K 268 66
                                    

Merasa tidak enak jika terus menumpang di apartemen Nina, Vian memutuskan untuk menyewa kos. Juna menyarankan untuk satu kos dengan Yasmin saja. Alasannya, dekat dengan kos Juna. Kalau saja di kosan milik Mas Rizki isinya bukan penyamun semua, Juna senang-senang saja Vian satu kos dengannya.

Nina ikut mengantar tiga koper besar ke kos baru Vian. Dia sudah menahan Vian untuk tinggal di apartemennya saja. Hampir saja berteriak murka di depan Vian, untung dia ingat kalau harus menahan emosi dengan sahabatnya yang itu. Juna pernah mewanti-wanti. Bilang jika Nina bebas marah dengan Juna atau Danisha, tapi sekali-sekali jangan pernah membentak Vian.

“Nin, aku ‘kan nggak bawa baju.” Vian menatap tiga koper yang sudah berada di depan pintu kos. Dia sudah membuka isinya, dan menghela napas melihat berpotong-potong baju yang masih baru, meski tag harga sudah dilepas. “Nin, ini apa?”

“Hadiah,” jawab Nina pendek. Dia memang tidak bisa marah ke Vian. Sebagai gantinya, dia bersikap dingin. Itu juga karena Vian tidak mau menurut. Lagi pula, Nina kesepian di apartemen besar itu.

“Aku nggak ulang tahun.” Vian berkata polos.

“Hadiah nggak mesti pas ulang tahun, ‘kan?” Nina membalas sengit.

“Tapi nggak perlu repot-repot begini, Nin.”

Juna sengaja lewat di tengah mereka. Menyela sejenak perdebatan. Melangkah ke kardus besar, membuka rak sepatu. Duduk melantai di teras kos, membongkar isi kardus dan merangkai rak itu. Mengabaikan dua perempuan di depan pintu. Pura-pura tidak mendengar perdebatan mereka barusan.

“Yasmin mana?” Nina mendekat ke Juna, duduk. Membantu merangkai.

“Di klinik.”

Vian menyusul, dia sengaja duduk di dekat Nina. Memeluknya tiba-tiba. “Makasih, Nin. Maaf banget, ngerepotin.”

“Sama-sama, Vi.” Nina menepuk-nepuk lengan Vian yang merangkulnya. Juna tersenyum melihatnya. Masih pura-pura asyik merangkai rak sepatu.

Juna berdiri, menarik rak yang sudah jadi ke dekat jendela. Dia iseng berbalik, dengan posisi merunduk, memeluk kedua sahabatnya. “Yang akur ya, Selir-selirku.”

Dengan segenap hati, Nina menarik rambut Juna hingga lelaki itu mengaduh. Sudah meminta ampun, tapi Nina masih tak mau menyingkirkan tangannya.

“Aduh, aduh! Gue masih pusing, Nin!” Barulah dilepas. Juna mencebik. “Bar-bar banget jadi perempuan.”

“Bilang apa?!”

Juna segera kabur. Melipir ke warung. Membeli paku. Dia sudah memasang kaca di dinding. Tapi belum dengan bingkai foto dan gantungan baju. Bertepatan dengan mobil Danisha yang memasuki halaman kos. Tapi sayangnya Juna tidak menyadari, dia telanjur berbelok.

Danisha mendapat kabar dari Nina kalau Vian hari ini pindah ke kos baru. Dia yang baru pulang dari Medan, bergegas mencari hadiah, lantas tancap gas ke sini. Beruntung dia tidak ketinggalan. Mungkin tenaganya dibutuhkan.

“Telat. Sana pulang,” usir Nina.

“Tega lo. Baru juga landing, gue langsung ke sini.” Danisha meletakkan dua plastik besar di teras kos dan ikut duduk. Meluruskan kedua kakinya. Menaikkan kacamata hingga menyibak poninya.

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang