Dua minggu berlalu sejak Yasmin mengungkapkan perasaannya. Dua minggu ini, Juna juga berusaha untuk membuat hubungan mereka berjalan dua arah. Juna tidak ingin menjadi lelaki berengsek yang membiarkan Yasmin berjuang sendirian dalam hubungan ini. Meski sebenarnya, mudah saja mencintai seorang Yasmin. Hanya saja, entah kenapa Juna merasa jika semuanya terlalu abu-abu.
Dua minggu ini, bebannya berangsur luruh. Perasaan Nina yang sempat menyita seluruh perhatiannya, pelan-pelan terlupakan. Bukan melupakan dalam arti harfiah. Hanya saja seiring dengan kesibukan masing-masing yang melelahkan, baik Juna maupun Nina bisa sedikit teralihkan. Sampai detik ini, Juna masih menyimpan semuanya sendiri. Tidak ingin membuat persahabatan mereka renggang.
“Wah, ada dua anggota baru!” Vian berseru senang melihat Juna dan Yasmin yang baru datang.
“Satu, kali.” Juna menyergah.
“Yang satu di belakang kalian tuh.” Vian mengedikkan dagu ke pintu masuk. Juna mengikuti arah yang dimaksud Vian dan mendapati Danisha datang bersama Dewa.
Sudah dua minggu pula dirinya tak bertemu Danisha. Terakhir adalah percakapan di dapur apartemen Nina. Tentang Dewa yang melamar Danisha. Apakah perempuan itu sudah memberi jawaban? Mata Juna mencari jemari Danisha. Mencari keberadaan benda yang berkilau dan sejenisnya.
Sentuhan di lengan membuatnya teralihkan. Yasmin mengisyaratkan untuk duduk. Juna rupanya masih berdiri saat Danisha dan Dewa sudah duduk.
Jadi tadi ketika bersalaman dengan Danisha atau Dewa, dirinya tidak sadar? Ini pasti gara-gara mencari cincin sampai-sampai dia tak fokus. Tanpa sengaja, Juna kembali mencari benda itu lagi. Dan tidak ada, pemirsa. Jemari Danisha hanya dilingkari cincin yang biasanya dia pakai. Juna nyengir tanpa sadar.
Nina belum datang. Vian bilang jika Nina baru saja landing. Mungkin butuh setengah jam lagi perempuan itu akan muncul di pintu restoran.
“Nina dari mana, Vi?” tanya Juna ketika menangkap nama Nina disebut. Barusan dia sepertinya melamun lagi. Sampai tidak sadar kalau meja sudah penuh dengan minuman dan makanan. Eh, kapan pesannya?
“Dua minggu ini ada kerjaan di Flores.”
“Kalau lo ke mana, Dan?” Juna beralih ke depan. Sialan. Dia baru sadar kalau duduk berhadapan dengan Danisha. Takutnya dia akan sering terjebak dengan menatapnya selama beberapa jam ke depan.
“Ikut Mas Dewa ke Korea.”
Sial. Juna menyesal sudah tanya.
“Ngapain? Oplas ya—aww!” Juna kena sikut Yasmin. Dia merasa aman karena Nina belum datang, tapi ternyata Yasmin ini sebelas-duabelas seperti Nina. Omongan Juna ngawur sedikit langsung kena sikut.
“Bercanda, Mas Dewa.” Juna melirik lelaki yang tampak santai itu.
“Lusa kami mau ke Bangkok, Jun, mau ikut?” Danisha malah menawarkan. Memangnya Danisha tidak sibuk konser? Kenapa dia mendadak punya banyak waktu longgar?
“Jadi obat nyamuk? No.”
“Yasmin diajak aja. Mau ‘kan, Yas?”
Ini beneran ditawarin?
Vian memasang wajah sedih. “Tega kalian, aku nggak ditawarin.”
Danisha merangkul pundaknya. “Mau ikut, Vi?”
Dewa menimpali. “Ikut aja semuanya. Aku yang tanggung akomodasi.”
Ini lagi, dikira Juna nggak mampu apa gimana? Kalau cuma ke Bangkok terus bayarin banyak orang, Juna juga bisa. Tapi masalahnya, Juna tak ada niatan seperti itu. Sayang uangnya. Mending ditabung buat masa depan, bangun rumah atau apa kek.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...