Silau matahari membuatnya terbangun sempurna. Sesaat yang lalu dia merasakan langkah kaki di samping kepalanya. Dia kira akan ada tepukan keras di punggungnya demi membuatnya bangun. Tapi Vian hanya melangkahinya untuk membuka gorden.
Dengan mata menyipit, Juna beringsut bangun. Menggaruk rambutnya yang semakin awut-awutan. Mengerjapkan mata, dan mengedarkan pandangan. Dia ada di kamar yang bernuansa kayu dengan harum vanila. Lalu pandangannya jatuh ke kasur di atasnya.
Tangannya meraih boneka dolpin yang tadi dia jadikan bantal. Tanpa ragu, dia menyambitkan boneka ke tubuh yang bergelung dengan selimut itu. Terdengar suara mengaduh pelan. Tapi Nina masih melanjutkan tidurnya.
Juna berdiri, sambil merem pun dia hafal letak rumah minimalis milik Vian ini. Meski dia harus hati-hati dengan pernak-pernik yang ada di setiap jengkal ruangan.
Danisha sudah pernah menyenggol vas kaca, pecah berkeping-keping, tapi Vian tidak marah. Nina pernah menjatuhkan guci imut, pecah, Vian juga hanya menghela napas. Juna? Dia lebih ekstrem. Merusak pagar cantik rumah Vian dengan bemper mobil. Vian marah? Tidak dong. Vian justru menangis melihat dahi Juna benjol karena menghantam setir.
"Viiiiian." Juna berhenti di pintu samping, menempelkan kepala di daun pintu. Menatap punggung perempuan yang sedang berkutat dengan pupuk dan tanaman kesayangannya itu.
"Hmm?"
"Bikinin sarapan dong." Juna tahu jika sudah di taman kesayangannya ini, Vian mendadak lupa daratan. Sewajarnya, orang bangun pagi-pagi pasti membuat sarapan, tapi Vian tidak. Dia lebih sayang dengan para bunga itu ketimbang perutnya sendiri dan perut sahabatnya yang dini hari tadi menggedor pintu—mengganggu tidurnya.
"Nina udah bangun?" tanya Vian tanpa menoleh.
"Belum. Tapi gue laper."
Vian berdiri, berbalik. Melepas sarung tangan dan celemeknya. Wajah teduhnya tersenyum.
"Si Cupu masih sering dateng?"
"Aldi namanya." Vian melewati Juna yang masih betah di pintu.
"Ya, ya whateverlah itu."
Juna mengekor ke dapur. Dia duduk di meja makan sambil mengamati Vian yang mulai membuka kulkas, mencuci sayuran, lalu memotong-motongnya.
Satu hal terlintas di kepala Juna. "Jangan cepet-cepet nikah ya, Vi."
Vian menoleh sebentar, mendengkuskan senyum. "Kenapa?"
"Di antara kita berempat, cuma lo yang bener. Cuma lo yang waras."
Di antara mereka berempat, Vian yang termuda. Tapi anehnya, Vian bisa bersikap lebih dewasa dan bijak. Meski untuk beberapa hal, Vian kadang bertingkah seperti adik yang ingin dimanja. Juna gemas setiap melihat sisi Vian yang itu.
"Maksud gue, boleh sih kalau mau nikah cepet. Ya tapi jangan sama Aldi. Gue nggak setuju."
Setelah memotong wortel, Vian menyalakan kompor. Meletakkan panci berisi air di sana. "Kenapa sih sama Aldi? Dia temen yang baik kok."
"Baik apaan? Dia natap lo mesum gitu."
"Nggak mungkin."
"Gue cowok, Vian Sayang. Gue ngerti jenis tatapan yang dia beri ke lo gimana. Dia pikir dia bisa sembunyi di balik tampilan dia yang rapi dan culun itu? Hah!"
"Terus yang baik itu gimana? Kayak lo?"
Bukan, Vian tidak akan berkata begitu. Juna menoleh, mendesis sebal. Nina menarik kursi dan duduk. Rambut panjangnya sudah dicepol asal. Mencuat sana-sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...