Di dalam kamar kosnya yang dia biarkan temaram, Juna duduk di tepian kasur. Menunduk dalam. Beberapa menit yang lalu, telepon dari Tante Ratih datang, mengabarkan jika Mama hendak terbang ke Jogja. Setelah dibujuk, akhirnya Mama mau keluar dari rumah dan melihat ‘dunia’ yang lain.
Sepanjang malam, Juna tidak bisa tidur. Dia hanya terlentang menatap langit-langit kamar. Pikirannya tak jauh-jauh dari satu nama. Hanya begitu hingga telepon dari Tante Ratih memecah subuh. Kabar yang entah mengapa membuat Juna bahagia. Mama akhirnya keluar dari cangkangnya.
“Kamu mau ikut, Juna?” Tante Ratih menawari. “Pesawat kami pukul delapan. Masih keburu untuk kamu berkemas dan mencari tiket.”
Juna berpikir lama, hingga suara Tante Ratih yang penuh pengertian terdengar lagi. “Tidak apa kalau kamu memang belum siap. Tante hanya mengabari saja. Kamu jaga diri baik-baik ya. Sehat-sehat.”
Satu jam setelah sambungan berakhir, Juna kembali menatap langit-langit. Membuat beberapa opsi di kepalanya. Tapi satu pun dia tidak menemukan titik kesimpulan. Dia ingin sekali ikut ke Jogja, sekadar liburan sekaligus menyusul Mama.
Menyusul Mama? Memang terdengar sederhana. Seperti halnya, seorang anak yang tidak ingin melewatkan satu pun momen berharga bersama sang Mama. Tapi bagi Juna, menyusul Mama akan menjadi perkara yang berbeda. Tidak sesederhana yang dipikirkan orang lain.
Pukul lima ketika dia melirik jam di dinding. Meraih ponsel di atas meja, Juna menelepon kakaknya. Semoga saja tidak mengganggu.
“Halo?” Terdengar suara serak, khas orang baru bangun.
“Maaf ganggu, Mbak.”
“Nggak. Ada apa, Jun?”
“Mbak udah tahu kalau Mama ikut Tante Ratih ke Jogja?”
“Eh, belum. Tapi sempat dengar rencana Tante Ratih beberapa waktu lalu. Akhirnya berhasil bujuk Mama.”
“Iya. Tadi aku ditelepon Tante Ratih.”
“Bagus, Mama perlu keluar dari rumah.”
“Mbak ....”
“Hm?”
“Tante Ratih bilang kalau aku bisa nyusul ... menurut Mbak gimana?”
“Ide bagus. Susul gih, Jun. Tapi, kerjaan kamu gimana?”
“Bisa ambil libur weekdays sih, Mbak. Tapi terpaksa ambil job weekend.”
“Weekend Mbak nyusul ke sana.”
“Tapi gimana kalau ....” Juna menggantung kalimatnya. Di seberang sana, kakaknya menunggu.
“Nggak ada salahnya dicoba, Jun. Meski pada akhirnya, Mama tetap keras hati, setidaknya kamu udah coba. Mbak juga yakin kalau kamu kangen sama Mama.”
Kakaknya benar. Kalau pun kali ini hatinya patah lagi oleh penolakan Mama, dia sudah terbiasa. Tidak apa. Juna bisa mencobanya lagi di lain kesempatan.
***
“Jun, lo nggak tidur?”
“Tidur kok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...