13. The Past

1.3K 263 27
                                    

Juna duduk di bingkai jendela kamarnya yang terbuka. Dia menatap Mas Rizki dan si Kembar yang terlelap di atas kasurnya. Dia sampai di kos sejam yang lalu, lantas duduk seperti ini. Tidak melakukan apa-apa. Punggungnya terasa dingin, tapi dia tidak ingin beranjak dari sana.

Sebelum dia terjebak dan menangis di sini, Juna memilih berdiri. Meninggalkan kamar kosnya dan melangkah melewati gerbang. Sekarang mungkin sudah jam dua belas. Jalanan sekitar kos sudah sepi. Juna melangkah ke minimarket, satu-satunya tempat yang bermandikan cahaya di sana. Seperti ngengat yang menuju sumber cahaya. Sama halnya Juna yang memutuskan datang.

Menyapa karyawan di balik kasir, lantas mengambil air mineral di lemari pendingin dan sebungkus roti di rak. Sempat tergugu sebentar ketika menunggu kembalian. Tatapannya tertuju ke deretan permen di dekat meja kasir, tapi pikirannya tidak di sana.

“Nggak beli rokok, Bang?”

Juna tersadar, menggeleng, lalu melangkah keluar. Tidak ingin berbasa-basi lebih lama. Dia berhenti di teras, duduk di undakan, alih-alih duduk di kursi plastik yang disediakan.

Malam ini terasa panjang. Padahal Juna ingin segera pagi saja. Bertemu matahari dan kesibukan akan membuatnya tenggelam. Daripada kedinginan sambil mengenang begini. Sendirian karena dia tidak ingin mengganggu siapa pun. Atau dia memang ditakdirkan untuk sendiri?

Namun, di antara kenangan yang tiba-tiba menjejal di kepalanya saat ini, setidaknya ada beberapa yang indah.

Ponsel di saku kemejanya bergetar. Nama Danisha muncul di sana.

“Kenapa, Princess?”

“Berhenti manggil begitu! Gue tabok ya!”

“Baru juga manggil gitu sekali, setelah sepuluh tahun.” Juna terkekeh. “Udah balik atau masih di jalan?”

“Udah di apartemen. Cuma nggak bisa tidur.” Danisha berdeham. “Jun ... temenin.”

“Ya udah, gue otw ke situ.”

“Nggak usah. Lo di situ aja.”

“Oke, mau cerita apa?”

“Nggak. Bukan gue yang mau cerita.”

“Lah, terus?”

“Lo.”

Juna ingin mengumpat. Tapi dia malah tertawa. “Kita punya semacam ikatan batin atau gimana sih, Dan?”

“Lagi di mana?”

“Di teras minimarket.”

“Kebiasaan.” Danisha pernah menemani Juna duduk di sana sampai Subuh. Demi menemani Juna yang tak bisa tidur. Karena Juna menolak bercerita apa-apa, Danisha yang memberi umpan. “Gimana Yasmin?”

Untuk beberapa alasan, Juna tersenyum. Meski Danisha tidak bisa melihatnya. “Anaknya lucu. Boleh ya gue deketin dia?”

“Mau serius sama yang ini?”

“Belum tahu.”

“Gimana sih!” Danisha pura-pura marah.

Juna menatap ujung sandalnya. “Gue takut Yasmin nggak bisa nerima gue apa adanya.”

“Dijalani dulu aja. Gue yakin Yasmin nggak kayak gitu.”

“Dan,” Juna ingin mengalihkan. “Gue gabut banget. Mau nyuruh lo ke sini tapi nggak tega. Udah lewat tengah malem.”

“Eh, bukannya lo harus ngelonin si Kembar? Ngapain bengong di situ?”

“Udah dikelonin sama bapaknya. Kamar kos gue dibajak.” Juna ingat sesuatu. “Mama apa kabar?”

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang