4. Single-Trouble Maker

3K 349 15
                                    

Selamat datang di hidup Danisha Reena yang terlihat keren dan asyik. Hidupnya penuh warna karena dia dikelilingi orang-orang tersayang. Dia bisa memiliki apa yang dia mau. Dipandang sosok yang begitu sempurna. Cantik, tinggi, putih, dan yang terpenting berkepribadian hangat. Dia bisa menjadi seperti apa yang dia mau.

Setidaknya, itu yang dilihat banyak orang. Seorang Danisha, anak tunggal tanpa kurang satu apa pun.

Setidaknya, itulah yang banyak orang percayai.

Maka temuilah Danisha setiap Kamis dan Minggu pagi. Danisha yang datang dengan mawar putih. Danisha yang akan menemani mamanya menyambut mentari pagi. Menyaksikan embun menguap di pucuk dedaunan. Menghidu bau rumput di pagi hari yang selalu menyenangkan.

Danisha tersenyum ketika sang mama sudah siap di kursi roda dengan selimut di pangkuan. Seorang suster yang baru saja keluar telah membantu mamanya pindah ke kursi roda.

“Pagi, Sayang.”

Senyuman Danisha semakin lebar, yang semoga saja mampu menahan air mata yang siap tumpah. Selalu saja begini. Padahal sudah tiga tahun. Tapi tetap saja Danisha ingin menangis setiap melihat mamanya duduk di atas kursi roda.

“Pagi, Ma.” Menyingkirkan mendung yang menggelayut di hati, Danisha mendekat. Bersimpuh, meletakkan kepalanya di pangkuan sang mama. Lalu dapat dia rasakan usapan halus itu. Selama dia tour dua bulan kemarin, dia hanya berkunjung setiap hari Minggu, dengan penerbangan terakhir dan berangkat lagi dengan penerbangan pertama.

Setelah Danisha bangkit, dia mendorong kursi roda itu ke halaman samping. Taman mungkin becek karena hujan semalam, jadi dia menghentikan kursi roda di teras.

“Juna kemarin datang ke sini.”

“Sendirian, Ma?”

“Iya. Tapi kapan gitu, Mama lupa, Nina datang sama Vian.”

Danisha duduk di kursi panjang yang ada di sana. Dia siap memasang wajah manja andalannya. “Jadi, mereka udah jelek-jelekin aku gimana aja?”

“Banyak.” Mama tersenyum jail. “Mereka bilang, Danisha sekarang lebih dewasa. Mandiri. Nggak mau merepotkan orang lain. Bedalah sama yang dulu. Yang apa-apa mesti diteriaki dulu. Kalau dimarahin, banting pintu. Ngambeknya seharian.”

“Mamaaa ...,” rajuknya.

Mama merangkum wajah putri semata wayangnya. “Sayang, jangan terburu-buru. Pelan-pelan.”

Danisha diam selama beberapa saat, lalu membiarkan satu titik menetes di pipi.

“Mama tahu kamu ingin mengejar semuanya. Itu bentuk pengalihanmu. Tapi Mama takut kamu kesepian. Merepotkan mereka nggak masalah, Sayang. Mereka sahabat-sahabatmu sejak dulu, ‘kan?” Mama mengusap pipi Danisha.

Demi membuat mamanya tenang, Danisha mengangguk. Tangannya menggenggam satu tangan Mama yang ada di pipinya. “Ma, cepat sembuh. Biar kita bisa sama-sama lagi.”

Apa yang Danisha jalani sekarang memang impiannya. Yang di tengah perjalanannya, dia hampir menyerah. Salah satu hal yang membuatnya bertahan adalah biaya perawatan Mama yang tidak sedikit, sehingga Danisha selalu mengusahakan yang terbaik.

“Danisha bantu doa, ya. Mama juga. Mama doakan kamu dari sini.”

***

Danisha pamit ketika dua jam sudah berlalu, mamanya harus istirahat dan dia harus segera pulang.

“Katanya mau ke Surabaya?” Ketika dia mendapati Juna duduk di atas kap mobilnya sambil merokok.

“Berangkat nanti malam. Makan, yuk?”

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang