Tebak siapa yang mengetuk ruang inap Vian siang ini. Bukan Danisha. Dia tadi sudah telepon, katanya dapat tiketnya yang sore. Nina? Bukan juga. Anak itu masih tidak terdeteksi keberadaannya. Juna jadi curiga kalau Nina sedang pemotretan di pedalaman hutan sana.
“Aduh, jadi ngerepotin. Padahal aku cuma nggak enak badan.” Vian meringis, lalu beralih ke Juna. “Kenapa harus ngabarin Yasmin segala?”
Juna melongo. “Eh, nggak niat ngabarin kok. Cuma bilang kalau gue di rumah sakit.”
“Jadi aku diusir nih?”
Vian memukul lengan Juna lalu tertawa. “Ayo, sini. Masuk. Duduk.”
Yasmin memeluknya sebentar kemudian meletakkan parcel buah di atas meja. Juna pamit keluar, mencarikan teh hangat.
“Jadi kalian udah sejauh apa? Ayo cerita.” Vian gemas untuk tidak bertanya. Dia bisa mengartikan bagaimana cara Yasmin menatap Juna.
Lihatlah. Yasmin tersipu. Vian benar soal tebakannya. “Belum terlalu jauh, Vian. Juna asyik kok diajak ngobrol.”
“Hanya sebatas teman ngobrol aja?” Vian mendesak. Entah kenapa dia begini. Dia bukan Danisha atau Nina yang agresif dan mudah melontarkan kalimat-kalimat tanpa berpikir lebih dulu.
“Iya, aku rasa dia punya bakat bikin nyaman orang di sekitar.”
Vian mengangguk. Memutuskan untuk tidak bertanya lagi. Apalagi orang yang dibicarakan sudah muncul di pintu dengan dua cup teh hangat.
Juna hendak menarik kursi mendekat, tapi ponselnya berbunyi. Dia menjauh ke jendela dan mengangkatnya. Berbicara sebentar dengan si penelepon. Menghela napas pelan, lalu berbalik seraya meraih jaket di sandaran sofa.
“Sori, guys. Mesti cabut ini. Udah ditunggu.” Sebenarnya tidak tega meninggalkan Vian, tapi melihat keadaannya sudah mendingan, Juna
“Kerja?” Vian mendongak ketika Juna masih menggulir ponselnya. Mungkin mengecek kembali jadwalnya di notes, lalu mengerang pelan.
“Iya. Gue lupa kalau ada kerjaan, tapi cuma bentar kok. Nanti gue bilang ke counter perawat biar sering-sering nengok ke sini.” Lalu menatap Yasmin. "Sori, Yas. Nggak bisa antar pulang. Duluan ya.” Dia menepuk bahu Yasmin pelan dan menyambut uluran tangan kiri Vian.
Yasmin menganguk, tersenyum dan pandangannya mengikuti punggung itu hingga hilang di balik pintu.
***
Taman bermain itu sudah ramai ketika Juna tiba. Tenda-tenda besar terpasang. Anak-anak kecil yang menggemaskan datang bersama ibu mereka. Beberapa tampak bermain bersama, beberapa lagi sudah menguap, gerah dan sebagainya. Matahari memang terasa terik di pagi menuju siang ini.
Saking panasnya, di belakang panggung, Juna sempat mencuci muka dengan air mineral. Dia sudah naik ke panggung, membuka acara, dan sekarang membiarkan sekelompok anak berkostum kupu-kupu menari di atas panggung.
Juna mengambil botol mineral kedua. Dia masih punya waktu lima menit sebelum naik ke panggung lagi.
“Nin?!” Juna lega ketika akhirnya telepon Nina aktif. “Di mana sih? Pemotretan di hutan rimba? Kenapa nggak pamit?”
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romantizm[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...