Gorden berkerit ketika Juna menyibaknya hingga terlihat pemandangan pantai yang memanjakan mata. Tidurnya semalam tidak nyenyak. Kalian tahu apa yang membuatnya hanya berguling dari satu sisi kasur ke sisi yang lain. Ya, pertemuan dengan mamanya kemarin ternyata tak semudah itu dilupakan hanya dengan terbang ke Bali. Juna bahkan masih bisa mengingat ekspresi dingin di wajah Mama yang tak sudi menatap ke arahnya.
Masih sama menyakitkannya dengan lima tahun yang lalu. Lebih baik dipukul agar badan merasakan sakit, besok-besok luka akan mengering, bukan pengabaian yang justru membunuh hati seperti ini. Menciptakan luka yang sampai kapan pun masih menganga ... kecuali ada sebentuk maaf. Juna tersenyum. Masih berdiri di depan jendela. Mengatai pemikirannya sendiri soal maaf.
Bali mulai menggeliat. Pantai mulai ramai oleh turis dan masyarakat lokal. Hidup terus berjalan meski kemarin atau semalam mereka dirundung sedih oleh masalah hidup. Hari terus berganti, tak pernah memberi jeda istirahat. Atau merenung menatap langit-langit kamar sepuasnya.
Rutinitas dan kewajiban memanggil. Memaksa bangun dari kasur, peristirahatan sesaat dari bisingnya dunia. Tapi, nyatanya, di atas kasur pun, bisingnya dunia ikut merebah di samping. Siap membangunkan tatkala pagi datang lebih cepat dari yang diinginkan.
Sama halnya dengan Juna. Dia harus bangun dari tidur tidak nyenyaknya ketika alarm di ponsel menjerit.
Meninggalkan jendela, dia melangkah ke kamar mandi. Satu jam lagi dia harus sampai venue. Acara gathering sebuah perusahaan outsourcing besar di ibu kota. Semalam, Juna tak sengaja satu pesawat dengan salah satu staf perusahaan yang terpaksa pisah dari rombongan karena mengurus hal lain lebih dulu.
Kebetulan yang lain, mereka menempati hotel yang sama. Karena hotel yang dipakai rombongan perusahaan sudah penuh.
“Hai, Jun.” Amelia menyapa. Terlalu banyak kebetulan. Kamar mereka pun bersebelahan.
“Oh, hai, Mel.” Juna membenarkan belakang sepatunya yang menyangkut. Mengobrol selama di pesawat, Juna tahu kalau mereka sepantaran.
Berbanding terbalik dengan Juna yang berusaha mengusir wajah lelahnya, Amelia seakan punya banyak energi. Rambutnya pendek, sebahu. Pipinya tembam. Mata besarnya berbinar. Sekilas saja sudah ketahuan kalau perempuan ini punya vibe yang positif. Tiga jam lebih mengobrol, meski suasana hati Juna luar biasa buruk, sangat terbantu oleh Amelia yang memosisikan diri sebagai teman mengobrol yang menyenangkan.
Amelia, lulusan terbaik di fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan, tapi memilih mengkhianati jurusan. Dari yang seharusnya menjadi tenaga pengajar, banting setir menjadi staf HRD. Juna jadi ingat salah satu potongan obrolan mereka di pesawat.
“Dosenku bilang kalau guru adalah panggilan hati, bukan profesi.”
“Terus?”
“Dari sana, aku kayak ketampar, Jun. Mana udah telanjur nyemplung. Mau pindah jurusan, udah nggak memungkinkan kecuali ngulang dari semester awal. Waktu itu udah mau skripsi sih. Jadi, telat banget sadarnya.” Amelia tertawa renyah. Kalau dipikir-pikir, perempuan ini suka sekali tertawa. Sedikit-sedikit tertawa. Mengingatkan Juna akan sosok Yasmin. Perempuan itu sedang apa ya?
“Sadarnya kok bisa telat?” tanya Juna, sekaligus mengalihkan pikirannya sendiri.
“Punya temen yang asyik-asyik. Waktu nggak berasa. Tahu-tahu udah kelewat aja.”
Iyalah, jelas teman-temannya asyik. Orang dia-nya aja nyenengin begini.
“Pas awal masuk jurusan, kayak gambling apa gimana?”
“Bukan sih. Tapi nurutin keinginan almarhum Papa. Ya sebenarnya nggak dipaksa kok. Cuma aku mau berani nyoba aja. Tahunya, aku memang nggak ada jiwa guru sama sekali. Kalau ditanya nyesel apa nggak. Iya, nyesel. Tapi aku ambil sisi baiknya aja. Papa nangis bangga pas aku wisuda, jadi lulusan terbaik juga. Aku bahagia banget, Jun.”
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...