31. Why It Matters

1.5K 286 60
                                    

Juna sudah berdiri di sebuah pintu sejak lima menit yang lalu. Kedua tangannya basah oleh keringat. Ditatapnya lekat-lekat daun pintu. Hatinya tiba-tiba gugup. Ingin mengetuk, tapi ragu. Oh, sial, di saat seperti ini dia butuh Nina yang impulsif itu. Mau menjemput Nina dulu? Aduh, kelamaan.

Oke, setelah menarik napas panjang sekali lagi, Juna mengangkat satu tangannya. Mengetuk pintu. Soal reaksi yang akan diterimanya, pikir belakangan. Yang jelas dia sudah bosan berdiri di sini, sibuk meragu. Lebih baik dia hadapi apa pun yang akan muncul di balik pintu.

Pintu akhirnya terbuka. Juna membuang napas, tanpa sadar sudah menahannya sejak tadi.

“Jun?” Rendy yang membukakan pintu.

Juna bingung harus bereaksi bagaimana. Tapi untungnya, Rendy segera maju dan memeluk Juna erat-erat. Seperti adik yang lama tak pulang. Ditepuk-tepuk punggungnya. Juna sampai sesak saking eratnya.

“Bang, aku nggak bisa napas.”

“Oh, sori, sori.” Dia mundur. Wajahnya berbinar sekali.

Juna akhirnya tersenyum. Tidak setegang tadi.

“Masuk, Jun, masuk. Kakakmu lagi masak.” Hebatnya lagi, Rendy tak bersikap kaku. Padahal mereka baru bertemu beberapa kali. Itu pun bukan dalam situasi yang baik.

Dan baru Juna sadar kalau dia datang dengan tangan kosong. Saking semangatnya, dia lupa membeli sesuatu. Bahkan, dia belum mandi. Hanya mencuci muka saja tadi. Saat keluar dari kos, juga menolak ditawari sarapan oleh Mas Rizki. Semoga penampilannya tak terlalu kacau.

Seraya mengikuti langkah Rendy, Juna mengendus kaus yang dia pakai. Untung tidak asem. Jemari-jemarinya menyisir rambut, merapikan sebisanya. Malulah kalau ketemu kakak dan ponakan cantik tapi dirinya dandan seperti gembel. Meski, bagi orang lain, seberantakan apa pun Juna, tidak layak disebut gembel. Masih tertolong oleh wajah tampannya.

“Sayang, lihat siapa yang datang!”

Juna sudah terpaku pada sosok bidadari kecil yang mengerjap di kursi khusus bayi, anteng menunggu sang ibu memasak. Mata bulat itu menatap Juna penuh rasa ingin tahu. Belum apa-apa, Juna sudah ingin menangis.

“Siapa?”

Mendengar suara itu, Juna beralih dari Lily. Menemui sebentuk wajah yang terkejut melihatnya. Juna menelan ludah. Apakah dia perlu maju dan memeluk kakaknya?

Tapi, tunggu, bagaimana kalau kemarin kakaknya mencari dirinya karena urusan lain? Bukan untuk hal-hal seperti rindu dan permintaan maaf. Bagaimana kalau ternyata Juna saja yang terlalu senang sampai tidak berpikir jauh kalau kakaknya hanya—

Sebuah pelukan mematahkan prasangka-prasangka begitu saja.

Rendy tersenyum melihatnya, kemudian berlalu. Memberi waktu untuk kakak beradik itu melepas rindu.

Tidak ada kalimat yang terucap. Tapi keduanya sama-sama menangis. Rindu itu menemui ujungnya. Kebencian yang membentengi hati Sarah, luruh sudah. Bertahun-tahun, sudah cukup. Dia tidak punya alasan untuk membenci Juna. Adik yang seharusnya mendapat perlakuan yang sama. Adik yang seharusnya tidak pernah terusir dari rumah.

“Jun ....” Di sela sedu-sedan, tercekat. “Mbak minta maaf ... atas semua yang terjadi.”

***

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang