Rabu pagi, Juna sedang mencuci mobilnya di halaman kos sambil bersenandung. Dibantu oleh si Kembar. Ralat. Bukan dibantu. Lebih tepatnya direcoki. Juna harus berseru beberapa kali ketika selang air justru dijadikan mainan tembak-tembakan. Juna bahkan kena beberapa kali, kaus dan celananya basah.
Jangan tanya si Kembar bagaimana, sudah basah kuyup mereka. Tinggal menunggu Mama mereka kelar memasak dan bisa dipastikan akan marah besar ketika melihat anak-anaknya kuyup begini. Sementara sang suami asyik menyeruput kopi di teras rumah. Membiarkan si Kembar mengganggu Juna.
“Minta beliin mobil gih sama Papi.” Juna melirik teras.
“Tutup mulut lo, Juna! Gue udah peringatkan ya!” Mas Rizki bersiap melempar sebelah sandalnya.
“Papi ‘kan nggak punya duit.”
“Siapa bilang?” Juna terkekeh, menuju ke sisi mobil yang jauh dari teras. Mengantisipasi sandal melayang. “Papi kalian banyak kok duitnya. Sengaja aja bilang nggak punya, biar kalian nggak jajan mulu.”
Si Kembar kompak menoleh ke teras. Menatap papinya dengan sengit. Juna terpingkal seraya menggosok bumper belakang.
“Papi, mau yang kayak gini satuuuu.” Dafa yang memulai. Rafa ikut mengangguk. Mendukung. “Biluuuu ya, Pi?”
“Enggak! Bagusan melah.” Rafa langsung keberatan.
“Biluuu!”
“Melah!”
“Bagusan ijo deh.” Juna menimpali.
“Enggak!”
“Enggak!”
Juna angkat tangan dan diam. Memilih melanjutkan menggosok badan mobil daripada ikut dalam perdebatan si Kembar yang sebenarnya bermula dari dirinya.
Si Kembar masih berdebat soal warna, sementara Mas Rizki sudah meninggalkan teras sambil menggerutu.
“Om, bagusan melah, ‘kan?”
“Ijo lebih bagus.”
“AAAA!!!”
“Bagusan bilu ya ‘kan, Om?”
“Ijo.”
“Lese, Om lese!”
***
Selesai mencuci mobil, Juna berusaha melipir dari si Kembar yang bersiap menghadang di dekat gerbang—seperti biasanya. Dia mengendap-endap menuju mobil ketika si Kembar sedang disuapi mamanya di teras. Segera tancap gas begitu terdengar seruan salah satu dari mereka. Bisa gagal rencananya kalau sampai si Kembar menahan kepergiannya atau malah rewel ingin ikut.
Hari ini jadwal Juna kosong. Dia bisa menghabiskan seharian tanpa takut ditelepon mendadak karena ada pekerjaan mendesak. Mengendarai sekitar setengah jam, Juna sampai di apartemen Nina. Dia hafal kode pintu, tidak perlu menekan bel. Lagi pula dia yakin jika sang empu masih bergulung di balik selimut.
Seperti yang diduga, Nina masih berupa ulat di tengah kasur. Juna melepas sepatu converse, menyisakan kaus kaki putih, lalu melangkah ke kasur. Dihempaskannya begitu saja tubuhnya ke sisi kasur. Satu tangannya ditelentangkan di atas punggung Nina.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...