Tak hanya menemani Danisha semalaman, Juna juga menemani mencari sarapan sebelum mengantar perempuan itu ke stasiun. Baru pagi tadi Danisha bilang jika siang ini band-nya manggung di Bandung.
Pesanan bubur ayam mereka datang. Mereka berhenti di warung tenda bubur ayam tak jauh dari stasiun.
Sambil mengaduk bubur ayamnya, Danisha melirik Juna. “Masih ngantuk?”
Iya, Juna mengantuk. Semalaman dia terjebak dalam kubangan kenangan dan tak ada yang menariknya keluar. Atau memang Juna sendiri yang tidak ingin keluar.
Tapi tentu Juna tidak ingin membuat Danisha cemas. “Berhenti ngaduk buburnya. Nanti buburnya balik jadi nasi malah horor.”
Danisha tertawa dan mulai menyuap. Dirinya tim bubur ayam yang diaduk. Sementara Juna merasa aneh jika melihat bubur yang semula cantik menjadi tak keruan seperti di mangkuk Danisha sekarang.
“Jun, cowok biasanya ‘kan tim aduk.”
“Gue jadi cewek pas begini,” jawab Juna asal.
“Lo nggak berubah ya, Jun. Dulu pas Bunda Hani bikin bubur ayam, lo yang rusuh bilang ke anak-anak lain supaya buburnya jangan diaduk.”
Juna mengibaskan tangan, menelan kunyahan sebelum bicara. “Itu nggak ada tujuan apa-apa sih. Toh mereka nggak nurut sama gue.”
Danisha urung menyuap, meletakkan kembali sendoknya. Sesuatu tiba-tiba terlintas di pikirannya. Ingatan yang acak, tapi tiba-tiba hadir. Hatinya menghangat setiap kali mengingat segala hal tentang lelaki di depannya ini.
Entah kenangan yang baik, atau paling buruk sekali pun. Kali ini, kenangan yang cukup absurd singgah di kepalanya.
***
“Bukan aku yang pecahin kacanya!” Itu suara Juna yang berteriak ketika beberapa anak berkumpul di sekelilingnya, siap menghakimi. Juna yang masih berumur sepuluh tahun, sudah bisa membela diri dengan baik.
Kalimat Juna berikutnya. “Coba mana buktinya kalau aku yang pecahin? Nggak ada, ‘kan? Jangan nuduh dulu.”
“Tapi kamu yang sejak tadi di sini, Jun.” Salah seorang anak menyanggah.
Juna nyaris berteriak lagi, bahwa bukan hanya dirinya saja yang ada di sini, tapi ada Danisha juga. Kenapa sih harus dia yang langsung dituduh? Mentang-mentang Danisha teman mereka, sedangkan Juna cuma orang luar.
“Juna baru dateng kok.” Sena membela kembarannya.
“Terus siapa yang mecahin? Nggak mungkin Danisha ‘kan?”
Danisha menelan ludah panik.
“Cuma pecah dikit,” Juna berjongkok di samping lemari berisi piala dan piagam itu. “Gampang, nanti aku bilang ke Mama, biar diganti yang baru.”
“Tuh ‘kan, berarti bener. Kamu yang pecahin.”
“Iya, aku yang pecahin. Puas?!” Juna menatap satu per satu anak-anak di sana. Dia tidak takut dengan penghakiman itu. Meski bukan dirinya yang memecahkan sudut lemari kaca itu.
“Mentang-mentang kaya, kamu bisa berbuat sesuka hati.” Nina berkomentar judes. “Gini ya aslinya. Kamu rusakin aja semua barang panti, nanti juga diganti sama Mama kamu. Dasar anak Mama!”
Anak-anak lain menatap was-was, menahan napas. Menunggu reaksi Juna yang mungkin akan mengamuk.
Sedetik. Dua detik. Hening.
Kemudian yang terdengar hanya suara sepatu Juna. Anak itu menyibak kerumunan dan memilih pergi dari sana. Tidak ingin membela diri apalagi meluruskan masalah. Dia sudah memberi solusi. Besok lemari kaca yang pecah di ujung kiri bawah itu akan diganti dengan yang baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...