Sudah tiga hari ini ibu kota diguyur hujan. Untungnya hanya sedang, tidak begitu deras. Tidak sampai menyebabkan banjir di mana-mana. Sejam yang lalu, sempat reda. Kemudian hujan lagi, dalam intensitas yang sama. Juna menatap jendela yang mengembun.
Aroma kopi menguar di dekatnya. Siska tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya, mengulurkan secangkir kopi. Juna mengucapkan terima kasih dan kembali melarikan pandangan ke kaca buram itu.
“Bang, dipikir baik-baik dulu.”
“Udah.”
“Kami yang di sini nggak mau kehilangan temen kerja yang menyenangkan.”
“Ya, gue pun demikian. Berat mau ninggalin kalian.”
Siska menghela napas. “Bisa banget ya nyumpal mulut orang HRD biar nggak ember.”
Sebenarnya Siska masih marah. Pagi ini berita Juna resign berembus kencang di kantor. Menggemparkan banyak karyawan. Tak terhitung berapa karyawan yang merangkap sebagai fans Juna mendadak patah hati. Mempertanyakan alasan kenapa Juna sampai resign. Mereka lihat sendiri bagaimana Juna nyaman dengan pekerjaan. Selama ini tidak pernah ada masalah. Di mata mereka istilah sarat-prestasi-minim-sensasi melekat erat pada diri Juna.
“Mereka ‘kan sohib gue, Sis.”
“Ya, ya, ya. Lupa.” Siska sedikit ketus. “Tapi kenapa sih, Bang? Gue sebagai asisten nyebelin ya? Gue ada salah yang nggak gue sadari dan itu cukup mengganggu? Bilang aja, Bang, biar gue introspeksi. Biar nggak keulang lagi.”
Juna menyesap kopinya. “Kinerja lo bagus, Siska. Nggak ada yang aneh-aneh. Gue resign karena ya memang mau nyoba hal baru. Bukan karena gue nggak nyaman sama rekan kerja atau masalah internal lainnya. Sesederhana gue mau cari suasana dan pengalaman baru.”
“Gue rasanya nggak mau percaya ini, Bang.” Siska mulai tersedu. “Lima tahun ini, gue nyaman kerja sama lo. Sebaik-baiknya orang yang pernah gue temui. Gue merasa sangat beruntung punya rekan kerja kayak lo. Gue belajar banyak hal. Dan yang terpenting, gue belum bisa bales kebaikan lo, Bang.”
“Yang mana?”
“Soal uang kuliah adik gue.” Siska menyeka pipi. “Gue belum bisa balikin.”
Juna menepuk bahu Siska. “Uangnya ditabung aja, Sis. Atau buat keperluan lain. Sungguh, bukan gue bermaksud sok kaya apa gimana. Tapi kalau buat makan selama di Sydney, gue masih ada.”
Dia menatap Siska dengan bangga, alih-alih kasihan. Hidup hanya berdua dengan sang adik di ibu kota, membiayai semua kebutuhan sendiri. Sekitar satu-dua tahun lalu, Siska butuh uang untuk menambal biaya kuliah adiknya yang tak sedikit. Siska tidak bercerita apa-apa atau meminjam uang padanya. Kebetulan saja Juna tahu, hatinya tergerak, dan sudah.
“Bang ... makasih banget, buat semuanya.”
“Anytime, Sis.” Satu tangan Juna mendekap kedua bahu perempuan itu. “Gue boleh minta tolong yang terakhir kali?”
“Apa, Bang?”
“Tolong booking-in resto belakang kantor. Acaranya besok malem ya.”
“Oh, buat farewell?” Siska nampak linglung.
Juna mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...