Juna menepati janjinya untuk menemani Nina. Asisten merangkap manajernya tidak bisa menemani. Meski Juna yakin, urusan terbang ke Surabaya bukan masalah. Nina berani sendiri.
Juna tetap sabar. Meski yang ditemani sejak dijemput ke rumah masih menekuk wajah. Entah masalah yang kemarin atau yang mana.
Serius, Juna sebal dengan perempuan yang sedikit-sedikit ngambek, apalagi manja. Tapi anehnya, dia mempunyai toleransi yang tinggi untuk ketiga sahabat perempuannya.
Mereka bebas mau apa. Mau marah, Juna terima, bahkan sabar menghadapi. Mau ngambek, Juna akan diam dan menunggu sampai membaik sendiri. Mau membuat masalah, Juna tidak akan meneriaki mereka. Tetap berkepala dingin—tanpa harus membuat masalah semakin runyam.
Kalau dipikir, jangan-jangan Juna kena pelet. Ya dinalar saja, dia menjadi serba-mudah ketika menghadapi ketiganya.
Bucin tolol memang.
“Nin,”
“Apa?!”
Juna kesal sendiri, dia bahkan baru menyadarinya sekarang. Tapi dilihat dari ekspresi Nina, sepertinya perempuan itu juga tidak sadar. Dia menghadang jalan Nina yang sejak tadi melangkah di depannya. Dicekal satu tangannya dengan pelan lalu membawanya masuk ke salah satu koridor yang sepi di bandara.
“Tadi sebelum pake baju, sadar apa nggak?”
“Kenapa?”
Juna melepas tas selempangnya, lantas menanggalkan hoodie yang dia pakai. Menyisakan kaus hitam tanpa lengan.
“Pake.” Diulurkannya hoodie itu.
“Nggak mau.”
“Pake, Nina. Gue nggak mau lo jadi tontonan orang-orang.”
“Apaan sih, Jun? Soal punggung gue? Ini style, Jun, style. Jangan norak. Gue bahkan pernah berpakaian lebih terbuka dari ini.”
Kalimat barusan tidak benar-benar datang dari hati Nina. Juna hafal karakter Nina yang ini. Kalau sedang bete, kalimatnya berkali lipat lebih judes dari Danisha. Sengaja membuat orang di sekitar lebih kesal.
“Oke. Gue pulang. Biar Vian yang ke sini gantiin gue.” Juna mengambil tasnya yang tergeletak di lantai. Bersiap meninggalkan Nina di sana.
“Jun!”
Baru dua langkah, Juna berhenti. Dia tidak langsung berbalik, justru menyeringai.
Nina menyerah. “Ya udah, sini hoodie-nya.”
***
Mendarat di Bandara Juanda, keduanya menuju hotel yang sudah disediakan pihak penyelenggara acara. Juna tidak banyak tanya sebelum akhirnya tiba di hotel dan mendapati fakta kalau kamar hotel hanya untuk satu orang.
Sialnya, tidak ada kamar lain yang tersisa. Semua sudah terisi tamu penting dari luar kota—Juna malas mengonfirmasi lagi.
“Ya udah, biasanya tidur berempat juga.” Nina mengibaskan tangan. Melirik wajah masam Juna.
“Tapi ini cuma berdua.”
Keduanya masih berdebat di dalam lift.
“Kemarin juga tidur sekamar di rumah Vian, ‘kan?”
“Itu beda, Nina.”
“Biar gue yang tidur di sofa.”
“Nggak. Gue aja.”
Nina nyengir mengikuti Juna keluar dari lift. Menuju kamar sesuai dengan nomor di keycard.
“Gue tadi siang ketemu Danisha.” Juna duduk di sofa, melepas sepatu ketsnya. Sementara Nina sudah merebahkan tubuh di kasur. Meluruskan punggungnya yang pegal.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...