12. That Beautiful-Smiled Woman

1.5K 273 51
                                    


Malam tiba di panti asuhan. Cahaya lampu yang lembut menyinari sudut-sudut panti. Rintik yang turun menambah manis suasana. Anak-anak berkumpul di ruang tengah. Terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang bermain monopoli, uno, lego, dan beberapa lebih senang menonton kartun di televisi.

Juna menarik diri dari sana, setelah sempat bergabung membangun lego. Dia senang dengan suasana di ruang tengah itu. Tapi mendadak dia ingin menyendiri. Di koridor panjang, Juna berhenti dan duduk di kursi kayu. Menatap rintik kecil yang beriak di kolam ikan.

"Nggak suka anak kecil?" Sebuah suara bergabung.

Pertanyaan yang membuat Juna tersenyum, meski belum menoleh. Bagaimana dia tidak menyukai anak kecil jika setiap hari dirinya bersinggungan dengan si Kembar-Dafa dan Rafa?

"Pengin ngerokok." Akhirnya Juna menemukan alasan yang tepat. Dia tidak ingin membuka diri terlalu jauh pada Yasmin. Belum saatnya. Mereka baru kenal hari ini. "Kamu alergi asap rokok nggak?"

"Ngerokok aja."

Juna mengeluarkan sebungkus rokok dan pemantik dari saku celana. Mengambil sebatang, menjepit di sela bibir dan membakar ujungnya dengan pemantik. Mengisap dalam-dalam sebelum mengembuskan kepulan asapnya.

"Kamu punya ikatan dengan panti ini?" Yasmin bertanya tanpa ragu.

"Ya, bisa dibilang begitu. Kelihatan ya?"

"Iya."

Barulah Juna menoleh. Sedikit terkejut. Dia baru menyadari jika perempuan ini memulai percakapan lebih dulu. Tidak seperti biasa, Juna bahkan harus menjadi menyebalkan agar menarik perhatian perempuan lain.

"Kalau kamu?" Juna ingin percakapan menjadi dua arah. Dia menghargai sikap Yasmin.

"Baru beberapa kali ke sini. Tapi mungkin memang nggak sespesial kamu, Danisha, Nina dan Vian yang punya kenangan di tempat ini."

"Kamu tahu soal kami?"

Yasmin tersenyum. "Sedikit tahu. Bunda Hani cerita, meski nggak banyak. Tapi cukup untuk menyimpulkan kalau kalian memang spesial."

Juna tertawa, lantas terbatuk oleh asapnya sendiri. "Dari tadi spesial mulu. Berasa martabak aja."

Yasmin ikut tertawa. Tawa yang anggun. Bukan sengaja dibuat seanggun itu. Tapi memang cara tertawanya seperti itu. Kenapa Juna tahu? Dia sempat melihat ketika Yasmin bermain di lapangan sore tadi bersama anak-anak perempuan.

Perempuan itu mudah tertawa.

"Aku dengar kamu dokter hewan."

"Ah, Vian ya yang bilang?"

"Iya. Buka klinik sendiri atau ...."

"Aku ada klinik di Jakarta," sambung Yasmin.

"Rumah kamu?"

"Bandung."

"Tapi buka kliniknya di Jakarta?" Juna sebenarnya takut jika pertanyaannya menyinggung. Tapi perempuan itu tampak santai.

"Nggak tahu kenapa bisa sampai di Jakarta. Mungkin belajar mandiri aja. Aku di Bandung terlalu dimanja. Nggak baik."

"Oh, anak Mama nih." Juna menggoda.

Yasmin meninju lengan Juna pelan. "Enak aja. Bukan. Aku lebih ke anak Papa."

"Sama aja, Yasmin."

"Beda, Juna."

"Kenapa?"

"Hm, ya mungkin karena aku dibesarkan Papa."

Setelahnya hening. Juna mulai menjawab sendiri pertanyaan yang ingin dia lontarkan. Dia tidak akan bertanya. Takut membuat perempuan di sebelahnya sedih.

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang