“What? Udah landing?”
“Iya.”
“Kok maju? Bukannya ini kalian baru berangkat?”
“Nggak tahu. Nina nih yang pesen tiket. Habis dia gue omelin tadi. Lagi sibuk?”
Sialnya, iya.
“Kirimin alamatnya. Kita mau naik taksi aja.”
“Tapi—”
“Kirim alamatnya.” Lalu panggilan diputus.
Oke. Itu kira-kira satu jam yang lalu. Panggilan kembali masuk ke ponselnya. “Gimana? Udah sampai di apartemen gue?”
“Belum—”
“Nyasar?!”
“Nggak nyasar. Cuma kita ada di depan gedung kantor lo nih. Buruan turun sebelum noraknya Nina keluar.”
“Kok bisa? Gue kirimnya ‘kan alamat apartemen. Bukan kantor.”
“Bisa. Lo pernah bilang nama kantor lo waktu itu. Nggak bisa nahan rindu kita. Cepetan. Bentar doang.”
Meninggalkan meja, Juna bergegas memasuki lift. Menuju lantai dasar. Jantungnya ikut berdebar. Padahal mereka rutin video call. Untuk ukuran sebulan, belum ada yang banyak berubah. Baru juga sebulan, belum hitungan bulan menuju tahun.
Sampai di lobi, Juna mempercepat langkah. Bergegas menuruni undakan tangga di teras. Dari kejauhan, sudah terlihat tiga bebek, no, tiga dayang. Terlihat bagaimana Danisha menarik Nina yang menempel di patung. Berpose norak dan Vian yang lugu mau-maunya dimintai tolong memfotokan.
“Udah! Itu Juna udah turun. Buruan. Dia mesti balik kerja lagi.” Danisha menarik lengan Nina, karena tak mempan diteriaki.
Mendengar nama Juna disebut, Nina buru-buru meninggalkan patung. Mengibaskan tangan Danisha, dia berlari lebih dulu.
Selain rindu, Juna juga tak bisa menahan tawanya. Lihat, seperti tiga kawanan bebek, ketiga perempuan itu berlarian menuju ke arahnya. Juna yang awalnya hanya melangkah ringan sambil menormalkan detak jantung, kini lebih bergegas. Gagal sudah usahanya untuk terlihat cool setelah melihat bagaimana ketiga perempuan itu heboh.
Juna merentangkan kedua lengan lebar, menangkap pelukan dari para dayang. Setelah semua sudah dalam pelukan, Juna merengkuh ketiganya erat.
“Aduh, lebay banget ya kita.” Juna menyindir.
“Bodo amat. Kangen, kangen, kangen!”
“Eh, eh, jangan ada yang nangis ya. Maskara sama eyeliner kalian kena di kemeja. Gue nggak bawa ganti.”
Yang merasa menggunakan maskara-eyeliner dan menangis, cukup sadar diri untuk mundur dari lingkaran. Ya, Nina. Siapa lagi yang selalu cetar dan bold di antara ketiganya?
Melihat lelehan maskara di pipi itu, membuat Juna terharu. “Bercanda, Nina. Sini, peluk gue lagi.”
“Tapi ‘kan lo nggak bawa kemeja ganti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...