26. Nightmare

1.6K 279 64
                                    

Juna mendecak untuk yang kesekian. Menggaruk rambut dengan gerakan sebal. Bagaimana tidak sebal jika di belakangnya, Sena, terang-terangan mengikuti langkahnya menuju lapangan luas yang letaknya lima ratus meter di belakang sekolah. Dia akhirnya berhenti, lalu menoleh dengan ekspresi terganggu. Semoga saja Sena sadar.

Anak itu hanya nyengir lebar. “Aku udah bilang tadi kalau pengin ikut.”

“Lo kesambet apa?”

“Aku juga pengin ikut main, Bang.” Sena bersikeras.

“Gue males ya kalau dengerin Mama ngomel karena lo pulang telat!”

“Nggak akan diomelin. Aku bakal jelasin sendiri.”

Juna menghela napas. Berkacak pinggang. Menatap Sena yang tampak berbeda di balik jaket milik Juna. Sementara jaket Sena yang dilemparkan padanya, tertinggal di dalam kelas. Lagi pula Juna tidak ingin mengenakan jaket milik Sena. Tapi anehnya, Sena terlihat nyaman-nyaman saja mengenakan jaket yang bukan gayanya setiap hari.

“Lo nyari temen sendiri sana, terus ajakin main futsal. Nggak perlu nempel ke gue gini. Atau lebih baik lo mendekam di perpus. Tempat itu lebih cocok buat lo.”

Sena tersenyum. “Aku punya temen kok. Enak aja. Tapi ‘kan pengin sekali-sekali ikut di lingkaran Bang Juna.”

“Ngapain?!”

“Ya biar aku juga kenal temen-temen Bang Ju—”

Juna mengibaskan tangan, memotong. “Kalau bisa jauh-jauh dari gue. Nanti lo luka dikit, gue yang kena omel lagi!”

“Tapi—”

Sebuah decitan ban terdengar. Juna mengurai tangan dari pinggang. Menatap bingung mobil yang tiba-tiba berhenti di belakang Sena. Sedetik kemudian, seiring dengan pintu mobil yang terbuka, keluar beberapa lelaki kekar berbaju hitam. Alarm di kepala Juna seketika menyala nyaring. Tanda bahaya yang segera dia kenali. Sebelum dia berbalik lari, satu tangannya terulur, hendak menarik Sena bersamanya.

Namun, terlambat. Ketika Sena menoleh untuk melihat siapa yang berderap ke arahnya, saat itu juga lehernya dipiting. Tiga orang yang turun dari mobil dalam sekejap berhasil meringkus Juna dan Sena. Membekap mulut Juna yang sempat berontak dan menyeretnya masuk ke mobil. Didorong kasar agar menurut. Satu orang sigap memasangkan kain hitam untuk menutup kepala.

“SIAPA KALIAN?!” Juna berteriak geram. “LEPAS! WOI, LEPAS! JANGAN MAIN-MAIN SAMA GUE!”

“Diem atau kembaran lo mati di sini!”

Juna langsung bungkam oleh ancaman itu. Mobil melaju meninggalkan jalan aspal yang sepi dan gersang. Di balik kain penutup, Juna mencoba membaca situasi. Kedua tangannya dipelintir ke belakang untuk kemudian terdengar suara plester. Percuma berontak. Juna merasa jika di setiap sisi, dijaga penuh. Tapi, setidaknya, dia lega bisa merasakan jika Sena ada di sebelah kanannya.

Dia tahu jika Sena akan diam dan menurut. Atau parahnya, Sena mungkin sedang menggigil ketakutan. Juna bisa merasakan lewat paha mereka yang bersinggungan kalau Sena gemetar, luar biasa ketakutan.

“Bang—” Sena lirih memanggilnya.

“Apa? Mau nangis? Lo lelaki apa perempuan?” Juna menjawab galak. “Di situasi kayak gini lo percuma nangis.”

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang