"Aku juga lahir dari rahim Mama!" teriak Juna suatu ketika. Ruang tengah itu sempat lengang. Mencekam. Juna yang selama ini dikenal bandel hanya di lingkungan sekolah, akhirnya berani membentak mamanya.
"Coba kamu bersikap sedikit dewasa, Juna. Lihat kembaran kamu. Dia bisa dibanggakan di mana-mana. Mama heran, kalian satu rahim, kenapa tingkah kalian bumi dan langit?!" Selli memijat pelipisnya dengan frustrasi. Dia belum selesai. "Lihat piala di sana, Sena menggunakan waktu untuk belajar dan membanggakan kami. Sementara kamu, bikin onar sana-sini. Bikin pusing orang serumah. Kemarin kamu ngerusak motor teman di sekolah, hari ini tawuran, besok apa lagi?!"
"Berhenti membandingkan kami, Ma!" Juna sudah berusaha menekan suaranya agar tidak meninggi. Tapi emosinya kadung tersulut. Dia sebenarnya tidak ingin membentak Mama. Toh, biasanya Juna hanya akan mendengarkan dan diam jika Mama seperti ini. Dia terima dihakimi seperti apa pun. Tapi, kali ini rasanya Juna sudah lelah dan muak.
Juna juga anak Mama, kenapa harus dibeda-bedakan? Apa Juna harus meniru Sena agar orang-orang di rumah ini menyukainya?
Apakah di rumah ini semuanya melulu soal Sena, Sena, dan Sena?
Betapa Sena yang penurut. Sena yang selalu mendapat ranking satu di kelas, bahkan paralel. Sena yang mudah dipahami. Sena yang tidak neko-neko. Sena yang selalu dibawa ke mana-mana lalu dibangga-banggakan kepada semua orang. Sena yang bisa menyenangkan orang-orang di sekitar.
Sementara Juna adalah antitesis Sena.
Mama benar. Sena adalah langit. Juna adalah bumi. Bumi yang paling dasar. Semua orang hanya akan menatap langit yang elok dan melupakan bumi yang gersang.
"Masuk kamar. Kamu dihukum. Mulai besok kamu berangkat terpisah dengan Sena. Terserah naik apa."
Juna mulai akrab dengan hukuman-hukuman yang kalau mamanya mau sadari sedikit saja, hukuman itu justru membentangkan jarak yang mengerikan di antara mereka.
Namun, apakah mamanya memang mau mengerti sejak awal? Tidak. Sudah Juna katakan berkali-kali-sampai bosan rasanya-jika Sena anak emas di rumah ini. Juna hanya beruntung tidak ditendang dari rumah ini dan menggelandang di luar sana.
"Apa lo lihat-lihat?!" Mbak Sarah yang berpapasan di tangga, menatapnya dengan sebal.
Juna melanjutkan langkah, tidak menggubris. Kakaknya itu juga berpihak pada Sena. Sudah dibilang, Juna cukup beruntung tidak didepak dari sini. Atau tinggal menunggu waktu saja?
***
"Lo mending pulang deh. Daripada runyam nanti urusannya."
"Aku bakal pulang kalau kamu juga pulang, Jun."
Juna terpaksa menarik kerah baju Sena dengan kasar. "Pulang! Pulang sebelum kesabaran gue habis!"
Namun, Sena masih bergeming. Tak mau pergi. Dia mencoba membujuk kembarannya sekali lagi. "Mama bakal marah, Jun. Kamu besok bakal diskors lagi. Kemungkinan terburuk, sekolah bakal D.O kamu."
"Apa sih peduli lo?! Lo cukup jadi Putra Mahkota aja. Nggak usah campuri urusan gue. Sana pulang!"
Ketika mereka masih berdebat, ketika Juna lengah, sebuah batu sekepalan tangan melayang. Sebelum keduanya sempat menyadari, batu itu sudah menyasar di pelipis Sena. Tubuh Sena ambruk ke tanah, darah segar mengalir dari pelipis. Juna yang panik segera berjongkok, setengah memeluk Sena. Melindungi tubuh Sena seraya mengeluarkan sapu tangan dan menekan bagian yang terluka. Menghentikan aliran darah.
KAMU SEDANG MEMBACA
WOMANIZER [End]
Romance[family-romance-friendzone] Imej Juna sebagai lelaki sudah hancur sejak ... entah sejak kapan. Dia adalah lelaki brengsek bagi mantan-mantannya. Puluhan kali membuat perempuan-perempuan menangis dan selalu mendapat hadiah tamparan. Tapi sudah biasa...