38. Knock Out

1.4K 317 32
                                    


"Masmu belum mau bangun, Nduk?" Ketika anaknya menuruni tangga dan Juna tidak muncul di belakangnya. Nimas bertugas membangunkan untuk sarapan bersama.

"Dikunci, Buk. Aku ketuk tiga kali nggak nyaut. Ya udah, mungkin capek. Biasanya juga begitu, Mas Juna kalau ke sini pasti kebanyakan tidurnya. Di kota nguli mulu sih."

"Nguli juga buat masa depan," bela Ratih sambil melirik kakaknya yang tetap datar-datar saja, apalagi kalau itu menyangkut tentang Juna. Seakan tidak ingin dengar dan tahu.

Sarapan separuh jalan, Juna baru turun dengan muka bantal. Nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Tadi sempat mendengar suara Nimas yang mengetuk pintu. Hanya saja matanya masih terlalu lengket.

"Kirain mau tidur sampe siang, Mas." Nimas mengambilkan nasi goreng ke piring Juna.

"Mau nganter Budhe Rum ke Sleman."

"Ngapain?"

"Nganter pesanan kaus sekalian beli kain."

"Habis sarapan?"

"Iya."

Ponsel yang dia letakkan di samping piring bergetar. Nama Danisha muncul di layar. Dia biarkan hingga getaran berhenti kemudian menyalakan mode silent.

"Kok nggak diangkat, Mas?" Nimas kepo. Dia mengintip layar, menangkap satu nama sekilas. "Mbak Danisha, 'kan?"

Mengabaikan pertanyaan itu, Juna mulai menyuap. Suapan kedua, layar ponselnya menyala. Tidak begitu mengganggu. Tapi tetap saja menyita perhatiannya.

"Ah, lagi berantem jadi nggak mau angkat?" Nimas lalu menyimpulkan. "Aku tahu, Buk, Budhe, Mas Juna suka siapa."

"Siapa?" Ratih meladeni kejailan anaknya.

"Yang bikin uring-uringan biasanya istimewa sih."

Nimas tidak tahu saja kalau ketiga dayang Juna berbakat membuatnya uring-uringan dengan cara yang berbeda.

Layar ponselnya sudah mati. Juna cepat menghabiskan sarapan. Sudah akan mengangkat piringnya, tapi kali ini berhasil dicegah Ratih. "Udah, biar nanti Tante yang cuci piringnya. Kamu buru-buru, 'kan? Mending mandi."

Juna berdiri, refleks mencium pipi tantenya. Sesuatu yang sebenarnya menjadi kebiasaan Juna dulu. Rasanya sudah lama Ratih tidak melihat kebiasaan itu. Mengingat bagaimana Juna sekarang sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan jarang bertemu. Anak itu menginap empat hari saja, dia senang bukan main.

Dia tatap punggung yang berderap menaiki anak tangga. Di sebelahnya, Selli juga melakukan hal yang sama. Sepasang matanya mengarah ke tangga. Tak terbaca.

"Mbak, maaf ya." Ratih menoleh ke kakaknya.

"Kenapa?"

"Dulu, setelah Nimas lahir, aku sempat ada keinginan untuk membesarkan Juna. Dan aku menyesal." Ratih menarik napas. "Menyesal karena hanya sebatas keinginan dan tidak berani bilang langsung ke Mbak."

Selli bergeming.

"Tapi di sisi lain, kalau Juna besar di sini, dia tidak sebaik dan semandiri sekarang. Aku mungkin akan sangat memanjakan dia."

Tersenyum tipis. "Buat apa minta maaf?"

"Mau bagaimana pun, Juna tetap anaknya Mbak. Ya merasa berdosa saja karena menginginkan kebahagiaan milik kakak sendiri."

"Tapi kamu juga menyesal," sergah Selli.

"Iya, menyesal. Kalau saja aku tahu, Juna akan berada di posisi yang ...." Ratih menggantung kalimatnya sendiri. "Aku orang pertama yang akan menerima dia dengan tangan terbuka, Mbak. Sama halnya ketika Juna memutuskan keluar dari rumah lima tahun lalu, aku sudah bujuk untuk tinggal di sini. Tapi sepertinya dia tidak ingin jauh dari rumah."

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang