25. All is (not) Fine

1.4K 291 56
                                    


Juna terjaga sepanjang malam. Sama sekali hilang kantuknya demi menggenggam tangan Vian yang gemetar dan terasa dingin. Dia ikut terluka melihat wajah teduh itu dipenuhi kerutan takut. Merasa ingin menggantikan posisi itu. Rasanya ingin mengambil semua takut dan resah agar wajah itu sejenak bisa terlelap tenang.

Semenit kemudian, Juna mendengar pintu depan yang terbuka. Dia berdiri dari tepi ranjang tanpa menimbulkan banyak suara. Melihat siapa yang datang.

Danisha merangsek masuk begitu pintu terbuka. Melewati begitu saja Juna yang berdiri di ambang pintu kamar. Mendapati Vian yang tertidur, Danisha kembali ke pintu. Menepuk punggung Juna, mengisyaratkan untuk duduk di sofa. Dia menutup pintu kamar.

“Beneran dari Bangkok?” Juna melihat koper Danisha di dekat pintu, yang tadi dilepas begitu saja demi segera bertemu Vian.

“Gimana bisa rumah Vian kebakaran?” Danisha bertanya hal yang lebih penting. Mengabaikan pertanyaan Juna.

“Belum tahu. Tapi gue udah mikir semacam doang.”

“Ada yang sengaja?” tebak Danisha.

Juna mengangguk. “Om Gunawan. Siapa lagi?”

“Tapi lo ada bukti?”

“Sayangnya, untuk saat ini, nggak ada.” Juna menghela napas. Menyandarkan punggung di sandaran sofa. Kepalanya mendongak. Menatap langit-langit.

“Bisa jagain Vian? Gue mesti ke Jogja pagi ini. Seharusnya berangkat tadi malam, tapi nggak bisa ninggal Vian.”

Danisha berdiri, melangkah mengambil kaleng soda di kulkas. “Bisa, Jun. Kalau mau pergi, ya pergi aja. Gue longgar sampai lusa.”

“Nina juga masih di Semarang. Belum bisa balik hari ini. Mungkin diusahain nanti malem.”

“Iya, nggak apa-apa.” Danisha mengulurkan sekaleng kopi instan. Juna menerimanya, tapi tak lekas membuka segelnya. Matanya mengikuti pergerakan Danisha hingga perempuan itu duduk di sofa panjang.

Berdiri dari duduknya, Juna meletakkan kaleng kopi yang masih utuh ke atas meja. Mengempaskan tubuh ke sofa panjang dan begitu saja meletakkan kepala di pangkuan Danisha. Juna bisa merasakan ketidaksiapan perempuan itu saat kepalanya jatuh ke pangkuan.

Meski terkejut, toh Danisha tetap membiarkan. Santai menyesap soda. Membiarkan Juna memejamkan mata di pangkuannya.

“Gue butuh tidur bentar, Dan. Pinjem pahanya.”

“Emang nggak bisa tidur di kamar sebelah?”

“Nggak nyaman.”

“Tapi—”

“Lima belas menit. Oke?”

Danisha menyerah. “Hm.”

“Bangunin nanti.”

“Pesawat jam berapa?”

“Jam tujuh. Mau balik ke kos dulu.”

“Berapa hari?”

“Nanti malem langsung balik.”

WOMANIZER [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang