Memori

174 28 1
                                    

     Sore itu setelah pulang dari tempat lesnya, hujan deras menangisi seluruh penjuru kota tempat kelahiran gadis kecil itu. Gadis itu masih berumur 11 tahun, tepatnya kelas enam Sekolah Dasar. Hujan semakin deras dan belum ada tanda-tanda ada yang akan menjemputnya.

Bahkan sopir taksi enggan memberhentikan taksinya hanya karena gadis kecil. Akhirnya gadis itu berlari menuju halte yang tak jauh dari tempat ia tadi berdiri untuk menghentikan taksi.

Tiga puluh menit kemudian ada bus kota yang berhenti di depan halte itu, sebenarnya ini pertama kali ia akan menaiki kendaraan umum. Tapi mau tidak mau gadis itu naik ke bus karena melihat tulisan yang mengarah ke daerah tempat tinggalnya pada tubuh bus tersebut.

Dengan pelan-pelan ia menaiki bus dan duduk di kursi kosong, sudah banyak penumpang yang berada dalam bus tersebut. Mungkin karena hanya bus ini yang masih beroperasi ketika hujan datang.

Fura duduk di samping seorang ibu bersama anaknya yang kira-kira masih duduk di bangku taman kanak-kanak.

“Bunda...” panggil seorang anak kecil pada ibunya yang duduk di sebelahnya.

“Iyya sayang? gimana sekolahnya tadi?”

“aku tadi dipanggil bu gulu tapi aku ngga dengel” ucap cedal sang anak

“Kogh bisa, hayoo kamu main ya sama temen-temen kamu” anak yang ditanyai itu menggeleng menandakan tebakan sang ibu salah.

“aku tadi tidul jadi ga dengel bu gulu panggil aku. Bu gulu yang salah, masak aku tidul dipanggil” ucap jujur sang anak sambil memperlihatkan giginya. Ibu itu langsung mencium pipi gembul sang anak.

Fura tampak tersenyum atas dialog yang baru saja ia dengar. Lalu bus tampak berhenti di sebuah halte lagi. Ada perempuan paruh baya yang baru saja masuk dalam bus.

Tubuhnya putih pucat dan bajunya sudah basah mungkin karena kehujanan, tapi masih terlihat sangat cantik dibalik wajah putih pucatnya.

Nampak kursi penumpang sudah penuh, Fura tak tahan melihat ibu-ibu itu berdiri dan hanya berpegangan pada kursi penumpang. Karena merasa kasian, Fura bangkit dari tempat duduknya dan mempersilahkan ibu itu duduk di kursi penumpang yang tadi ia duduki.

“Ibu, silahkan duduk di sini”

“Tak usah dek” tolak sang ibu pada Fura dan tetap berdiri. Fura langsung menarik tangan ibu itu dan mendudukkan di tempat duduk penumpang.

“Tak apa ibu, perkenalkan saya Fura” Fura mencium punggung tangan ibu itu dan berdiri di sebelahnya.

“Nama yang cantik, apa artinya?” tanya ibu paruh baya tersebut.

“Lebih tepat Safura, artinya keemasan. Saya punya saudara kembar namanya Safira artinya berlian” jelas Fura dan menunjukkan senyumnya.

“Kamu sangat mirip dengan anak laki-laki ibu, namanya Bagas. Pada saat ibu belum meninggalkannya ia masih belum genap berumur 2 tahun” Ibu tersebut langsung menundukkan kepalanya.

“Dimana Bagas itu sekarang bu?”

“Entahlah mungkin di bawa ayahnya dan bersama dengan putri ibu yang mungkin sudah seumuran denganmu” Ibu itu tambah menundukkan kepalanya.

“Oooh yaa..ibu namanya siapa?” tanya Fura untuk mengalihkan pembicaraan.

“Nama saya Kinara, panggil saja Kinar” ibu Kinar langsung tersenyum dan mendongakkan kepalanya menghadap Fura.

Setelah lama bercakap-cakap, sekitar sepuluh menit kemudian hujan semakin deras. Jalanan sudah terlihat buram tapi bus tetap saja melaju untuk sampai ke tujuan para penumpang.

UNTHINKABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang