Kerapuhannya

54 12 0
                                    

Tangan Wildan bergetar hebat melihat kertas yang sekarang ia pegang. Akhir-akhir ini Wildan memang mencurigai sekretaris ayahnya yang sering datang ke rumahnya. Padahal ayahnya jarang sekali menyuruh sekretarisnya datang ke rumah.

Dan benar, Wildan memperoleh informasi setelah berhasil mengorek seluruh ruang kerja Farel.

“Wil-Wildan” Wildan mengenal suara ini. Suara Farel terbata-bata, terkejut melihat Wildan membawa kertas yang tadi pagi baru ia terima dari sekretarisnya.

“Apa maksud semua ini!!” Bentakan Wildan sangat keras. Dia benar-benar tidak dapat mengontrol emosinya saat ini.

Farel tidak menjawab. Awalnya Farel juga sangat terpukul setelah melihat isi kertas yang sekarang berada di tangan Wildan.

“Apa semua ini benar?” suara Wildan terdengar parau

Farel mengangguk dengan lesuh pada anaknya. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Bertahun-tahun ia mencari informasi ini, dan baru saja ia peroleh tadi pagi dengan rasa yang sangat menyakitkan.

Wildan meremas kertas yang ia bawa dan melemparkannya ke sembarang tempat. Hatinya sudah benar-benar hancur. Wildan segera mengeluarkan mobil sportnya dari pekarangan rumah.

Seperti orang kesetanan, seperti itulah Wildan mengendarai mobilnya. Rambu-rambu lalu lintas ia trobos begitu saja. Mengendarai dengan ugal-ugalan.

Dan sampailah Wildan di SMA Genta. Untuk apa Wildan kemari? Entahlah. Wildan berjalan cepat dengan langkahnya yang besar-besar. Arah jalan Wildan menunjukkan ia akan pergi ke lorong paling pojok.

Benar saja, ia sudah berada di depan ruang musik. Wildan masih membawa kunci ruang musik. Guru pengampu seni musik memberikan kunci ruang musik pada Wildan bukan karena Wildan ikut club musik. Tapi karena Wildan pernah memintanya untuk tempat belajar.

Karena ruang inilah tempat yang paling sepi dan jarang dilalui orang, kecuali jika memang ada ekstrakulikuler musik disini. Wildan sangat menyukai ruang yang damai dan nyaman untuk belajar.

Setelah berhasil membuka pintu, Wildan masuk dan berusaha melampiaskan seluruh pikirannya pada drum di depannya.

°°°°°

“Dasar guru gak berperasaan”

Fura terus saja mengeluh karena dia tadi telat masuk kelas selama 15 menit. Bukan karena Fura anak nakal. Tapi tiba-tiba saja ada adik kelas yang menumpahkan minumannya di baju Fura.

Dan Fura terpaksa harus mengganti pakaianya yang penuh dengan noda warna kuning akibat noda jus mangga, untung saja dia memiliki simpanan pakaian di lokernya. Tidak hanya itu, Fura bahkan tidak memakai sepatu saat masuk kelas karena sepatunya benar-benar penuh dengan jus mangga.

Dengan tepaksa, Fura ada disini. Sekolahpun sudah mulai sepi. Sedangkan Fura masih berhadapan dengan para kain pel dan sapu. Sungguh mengenaskan.

Bagaimana dengan Fira? Sebenarnya Fira keras kepala ingin membantu Fura, dan dia sedang membersihkan bilik kamar mandi di bagian lain. Dan Fura harus rela membersihkan kamar mandi di bagian belakang yang mungkin jarang dipakai.

“Suara apa itu?”

Fura mendengar nada yang sangat amburadul alias tidak bernada. Sangat tidak enak di dengar dan sangat merusak gendang telinga. Langkah kaki Fura sampai berada di ruang musik.

Enggan sekali Fura berada disini. Selain tempatnya yang sepi dan menakutkan, apalagi ini hampir waktunya magrib. Tapi suara itu membuat Fura penasaran.

Tangan Fura membuka knop pintu ruang musik. Dan betapa terkejutnya Fura bahwa orang yang sedang memainkan drum seperti orang kesetanan itu adalah Wildan. Wildan Bagaskara Alfarino.

UNTHINKABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang