B A G I A N 6 | Mulai Mengenal

400 22 0
                                    

Agung terdiam menatap amplop putih itu. Ia kemudian menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya.

Zara menatap dalam diam respon Agung. Ini membahagiakan atau menyedihkan untuknya? Zara tidak bisa mengerti lelaki itu.

Agung kembali membuka matanya. Ia memandang wajah Zara lekat. Wajahnya datar. Namun dibalik mata itu, terdapat secercah kesedihan. Entah kapan Zara menyadarinya.

Zara segera menunduk. Ia menatap kedua kakinya jantungnya berdetak kencang. Zara menggigiti bibir bawahnya.

"Besok gue balikin."

Zara menoleh pada Agung yang sedang memandang ke arah lain. Ia mengerutkan keningnya. Merasa dipandangi, Agung menoleh pada Zara.

"Apa?" Agung menggerakkan ujung dagunya.

"Kenapa?" Zara bertanya balik.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa dibalikin? Lo, em ... " Zara menghentikan kalimatnya. Ia bingung harus berkata apa. Ia hanya tidak ingin salah bicara.

"Gue nggak suka dikasihanin. Gue masih bisa kerja," ucap Agung, menjawab pertanyaan Zara.

Zara terdiam sejenak. Ia menatap Agung sambil berfikir. "Atau mungkin ... "

Seakan mengerti apa yang Zara pikirkan, Agung langsung menjawab, "iya. Gue nggak masuk karena kerja, Ra."

Agung kira, Zara akan menatapnya penuh iba dan rasa kasihan. Tapi justru, kedua ujung bibir Zara tertarik. Agung dibuat bungkam olehnya. Senyum yang bisa membuat semua dunia tak lagi menarik lagi untuknya. Senyum yang bisa membuat Agung kembali bersemangat untuk harinya. Senyum itu. Begitu menenangkan, pikir Agung.

"Cukup. Aku tak bisa. Semakin lama, aku semakin kagum dengan kerja kerasnya. Juga ketampanannya. Sepertinya dia memang terlahir sebagai lelaki yang terciprat keringatnya nabi Yusuf," batin Zara.

Ya, sepertinya Agung memang terlahir sebagai keturunan lelaki tampan. Karena meskipun lingkungannya terlihat kurang baik, namun tak bisa disangkal wajahnya tampan serta kulitnya yang bersih. Namun penampilannya saja yang kadang berantakan.

Jika ia kadang merapikan pakaiannya sedikit, ia pasti tak kalah tampan dengan artis ternama. Itu menurut Zara. Berlebihan tidak sih? Fikir Zara.

"Terus jadi lelaki yang pekerja keras yah, Gung," ucap Zara pelan. Senyum gadis itu semakin lebar dan merekah.

"Iya, Zaraa." Agung menyapit hidung Zara dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang ditekuk dangan gemas.

"Iih, Aguung!" Zara memegang hidungnya yang memerah. Ia memberengut. Agung tertawa pelan melihatnya.

"Oh iya, Gung." Zara kembali membuka suara. Ia telah menurunkan tangannya yang sebelumnya memegang hidungnya.

Agung menghentikan tawanya. Ia menoleh pada Zara. Tak berniat menyela, dia menunggu gadis itu kembali berbicara.

"Beneran lo nggak pernah ajak temen lo satupun ke rumah? Gue kira ... " Zara mengingat hal yang sejak tadi terfikir untuk ditanyakan.

"Nggak. Itu nenek aja yang nggak tau. Kadang temen-temen ke rumah tapi neneknya yang nggak di rumah. Atau juga mereka datengnya pas malem dan nenek pasti udah tidur. Jadi nggak sempet ketemu nenek." Agung menjelaskan.

Zara manggut-manggut tanda paham. Namun ia kembali melontarkan pertanyaan, "nenek kerja?"

Agung mengangguk. "Padahal udah beberapa kali dibilang di rumah aja. Tapi tetep aja keukeuh pengen kerja. Apapun yang nenek bisa, pasti nenek lakuin. Sekalipun cuma ngumpulin akua di jalan. Sebenernya nggak tega liat nenek kek gitu. Tapi dianya pengennya gitu. Gue nggak mau ngelarang. Asal dia nggak terlalu capek dan sakit."

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang