Zara memandangi dengan pemandangan alam di hadapannya sambil berdecak kagum. Ia hampir menangis melihatnya. Matanya memperhatikan setiap inci pemandangan di hadapannya. Tidak ingin melewatkan sekecil apapun hal indah.
Hamparan rumput yang luas dan dikelilingi oleh pegunungan. Hijaunya pepohonan dan segarnya udara di sana membuat Zara mengambil nafas lalu menghembuskannya pelan-pelan. Ia kemudian mengulum senyum.
Zara memutar tubuhnya. Masih sama. Menatap semuanya dengan senyum di bibirnya.
Zara mendongakkan kepalanya. Menatap langit biru yang menaunginya. Bersih. Tanpa awan. Indah sekali.
"Ara," panggil seseorang.
Zara menoleh mendengar panggilan yang sangat ia kenali itu. Hanya satu orang yang memanggilnya begitu.
"Papa?" sahut Zara.
Terlihat seorang lelaki yang terlihat gagah dengan bajunya yang berwarna putih sedang tersenyum padanya.
"Zara kangen Papa," lirih Zara. Ia segera menghambur ke pelukan papanya.
Lelaki itu mengelus lembut kepala Zara.
"Zara mau ikut Papa," ujar Zara sambil melepas pelukannya.
Papanya tersenyum lalu meraih tangan Zara. Senyum yang rasanya sangat dirindukan Zara.
Namun perlahan-lahan, seperti ditarik sesuatu, papanya berjalan mundur.
"Pa?"
"Kita pasti akan bertemu lagi, nak. Papa akan tunggu kamu," ucap papanya dengan lembut.
Zara berusaha mengeratkan genggamannya. Namun itu percuma. Papanya semakin menjauh. Terus menjauh, hingga genggaman tangan mereka lepas.
Zara masih sangat merindukan papanya. Ia masih bisa melihat senyum papanya yang ia rindukan.
"Papa!"
Tangan Zara terulur ke depan dengan nafas tersengal. Ia mengerutkan keningnya saat pandangan matanya menatap dinding rumah sakit yang berwarna putih.
Zara menurunkan tangannya. Menatap heran selimut yang kini menutupi kakinya.
"Ra?"
Zara menoleh. Ia menemukan mamanya yang kini menatapnya dengan cemas.
"Kamu kenapa?" tanya mamanya.
Zara terdiam. Pikirannya masih melayang pada pertemuannya dengan papanya. Jadi itu hanya mimpi? Ia bertanya-tanya dalam hati.
"Kamu mimpi buruk?" Mamanya bertanya lagi.
Fatimah mengelap peluh di wajah Zara. Namun Zara masih termenung.
Tadi itu nyata sekali, pikirnya.
Fatimah kemudian mengelus kepala Zara lembut.
"Jangan takut, Ra. Mama ada di sini," ujar Fatimah.
Zara menoleh pada Fatimah.
"Tadi aku ketemu Papa, Ma." Zara mengutarakan pikirannya.
Fatimah tertegun. Matanya kemudian terlihat berkaca-kaca.
"Ra," panggil mamanya lagi.
"Papa kan sudah meninggal."
Zara terhenyak.
Fatimah segera memeluk Zara. Begitu erat. Sangat erat sembari mengelus lembut kepalanya. Tanpa sadar, air matanya jatuh.
Arkan menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Ia melihat dan mendengar semuanya. Hatinya sakit. Sangat sakit. Ia berjalan mendekati kedua orang yang sangat disayanginya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...