Semua sudah kembali seperti biasa. Daun kembali jatuh dari tangkainya. Bunga kembali mekar pada waktunya. Mentari kembali bersinar dengan hangatnya.
Memaafkan adalah jalan terbaik. Memulai kembali adalah pilihan untuk menjadi lebih baik. Namun apakah memulai harus melupakan?
Apakah masalalu harus dilupakan? Haruskan menjadi burung yang melupakan sangkarnya atau menjadi malam yang melupakan bintangnya?
Saat semua telah kembali, namun Zara merasa ada yang bilang dalam harinya. Ada yang pergi dengan penuh rasa sakit. Ada yang pergi dengan rasa kecewa.
Ia tak lagi berhubungan dengan Agung. Tak lagi berbicara dengannya. Agung pun seperti menghindar darinya.
Namun seperti apapun keadaan, waktu akan terus berjalan tanpa menunggu siapapun.
Tak lain dari Zara, Agung seperti kehilangan bintangnya. Harinya seperti kopi tanpa gula. Itulah perumpamaan yang dibuat Nando.
Tapi setidaknya, tanpa gula Agung akan tetap menikmati kopinya. Membuktikan pada semua orang bahwa yang pahit bisa membuat gulanya sendiri. Agung akan mencari gula kehidupannya sendiri.
Agung mengusap dahinya yang berkeringat. Malam ini terasa panas untuknya. Padahal biasanya ia akan dengan santai melayani bar.
Seorang perempuan dengan rambut panjang tergerai dan pakaian super mini menghampiri Agung. Dia tersenyum pada Agung.
"Capek yah, Gung? Padahal gue udah berulang kali nawarin Lo kerja yang lebih baik."
"Makasih, Viera. Tapi gue udah nyaman di sini." Agung tetap fokus pada pekerjaannya.
"Lo bisa kerja di kafe Papa gue, Gung. Bukannya Lo nggak nyaman di sini?"
Perempuan bernama Viera itu berhasil menghentikan gerakan Agung.
"Gue nggak nyaman di sini karena selalu ada cewek bar-bar yang nyamperin gue. Sekarang Lo paham apa yang harus Lo lakuin?" Agung berkata dengan ketus dan dingin.
Sudut bibir kiri Viera mengangkat. "Oke, kalau itu mau Lo. Lo tau dimana harus hubungin gue." Viera berjalan menjauh dari Agung.
"Wih, orang ganteng mah selalu dikelilingi cewek cantik yah, Do." Ray menyindir Agung. Ia sepertinya memperhatikan Agung dari jauh sejak tadi.
Agung tak mengacuhkannya. Ia tetap pada pekerjaannya. Meski sebenarnya ia tidak sesibuk itu namun ia malas menanggapi Ray.
"Lo merasa nggak ganteng, Ray?" Ucapan Nando terdengar meledek.
"Maksud Lo?" Ray terlihat tak terima.
"Buktinya jarang ada cewek cakep yang deketin Lo." Nando tertawa diakhir kalimatnya.
"Enak aja Lo! Banyak cewek yang dateng ke gue. Cuma selera gue aja terlalu tinggi. Cuma ada Risya seorang di hati gue."
Ucapan Ray membuat Nando dan Agung kini menaikan sebelah alisnya seakan meminta penjelasan.
"Santai, Bang. Gue emang udah suka sama Risya pada pandangan pertama. Gue setuju sama pendapat orang yang bilang, pacar boleh yang mana aja tapi kalau istri harus yang shalehah." Ray mulai senyum-senyum tak jelas.
Agung memutar bola matanya. Apa yang bisa dipegang dari lelaki playboy? Janji dan ucapan palsu apalagi cinta. Agung saja sudah tak percaya jika Ray mencintai perempuan apalagi perempuannya sendiri. Sepertinya ia harus segera menyadarkan Ray.
Nando memilih memainkan handphonenya. Namun beberapa menit kemudian ia kembali bersuara sambil mengerutkan keningnya.
"Gung, bukannya ini di gang rumah loh?" Nando menunjukkan handphonenya pada Agung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...