B A G I A N 38 | Jam Tangan

325 19 0
                                    

"Kalau elo sayang sama adik gue, jangan pernah sakitin dia lagi."

Suara Arkan membuat Agung menoleh. Ia cukup terkejut. Agung buru-buru melepaskan genggaman tangannya pada Zara.

"Kak Arkan." Agung tersenyum kikuk. Ia bangkit dari duduknya.

Kini Arkan menggantikan posisi Agung. Dia meraih tangan adiknya seakan-akan mengatakan bahwa saat ini, adiknya masih di tangannya. Belum menjadi milik siapapun.

"Dia masih adik kecil gue yang paling gue sayang. Kalau elo sampe nyakitin dia, gue enggak bakal tinggal diem." Arkan berkata lagi.

Agung tidak memberikan jawaban apa-apa. Dia diam mendengarkan Arkan bicara.

"Tanpa gue sadar, adik gue udah tumbuh dewasa dan akan punya sosok lelaki yang menjaga dia. Bukan lagi gue yang harus ngejaga dia."

Arkan tersenyum menatap Zara. Mengelus kepalanya lembut.

"Sampai kapanpun, dia tetep adik elo, kak."

Bukan, itu bukan suara Agung. Arkan mengenalinya. Bahkan sangat mengenalinya. Dia menoleh ke asal suara.

"Raka?" panggilnya.

Raka tersenyum sambil melangkah menghampiri Arkan.

Agung terdiam menatap kejadian di hadapannya. Sejak dulu dia sudah bilang. Untuk urusan ini, dia kalah dengan Raka.

Setelah pamit pada Arkan, Agung melangkah keluar dari ruang rawat Zara.

"Kenapa keluar, Gung?" tanya Ray.

Satu-persatu sahabatnya justru mundur. Nando yang mundur karena Agung. Lalu Agung yang mundur karena Raka. Ini tidak boleh terjadi. Ray tidak akan membiarkan sahabatnya terus melangkah mundur. Harus maju!

"Enggak kenapa-napa." Agung menjawab seadanya. Ia melirik Zidan dan Zoya yang tengah menatap Zara melalui jendela ruang rawatnya.

"Eh, Nando kemana?" tanya Agung sambil mencari keberadaan sahabatnya itu.

"Pulang. Lagi sakit dia. Sakit hati," canda Ray.

Agung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia benar-benar paham maksud Ray.

Agung menoleh pada Fatimah yang duduk di samping Risya.

"Tante, saya pamit pulang yah?" ucap Agung.

Ray menyenggol lengan Agung. Agung menoleh. "Apaan sih?"

"Saya juga pamit, Tante. Risya mau ikut aku pulang enggak?" ujar Ray.

Risya yang masih bersandar kepada lengan Fatimah, menggeleng. "Kalian duluan."

Ray mengangguk. "Kalau begitu kita berdua pamit yah, Tante."

Fatimah mengangguk. Setelah mencium punggung tangan Fatimah, Ray dan Agung melangkah pergi.

***

"Apa kata dokter Lutfi, kak?" tanya Raka pada Arkan.

Arkan masih menatap waja Zara seakan-akan tidak ingin adiknya lepas dari pandangannya.

"Zara harus segera operasi transplantasi jantung."

Raka menatap cemas Zara. Sejujurnya sejak dulu Ia tau hari ini akan terjadi. Saat tubuh Zara sudah tidak bisa bertahan lagi.

"Terus kenapa enggak langsung di operasi, Kak? Zara harus cepat-cepat ditangani," kata Raka.

Arkan menghembuskan nafasnya kuat-kuat. "Kakak juga pengennya gitu, Ka. Tapi enggak segampang itu. Kita harus cari pendonor jantung yang tepat."

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang