Zara membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Ia kembali memejamkan matanya sebentar baru kembali membuka matanya.
Zara memandang sekelilingnya. Tak ada siapapun. Zara sangat mengenali tempat ini. Terlalu sering Zara berada disini hingga ia merasa tempat ini sebagai rumah keduanya yang begitu membosankan.
"Zara?" Fatimah bergegas menghampiri Zara. Matanya berbinar bahagia.
"Alhamdulillah kamu udah sadar. Ya Allah ... Doa Mama terkabul. Sebentar, Mama panggil dokter, yah." Mamanya berjalan keluar.
Zara diam saja. Ia masih berusaha mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Kepalanya terasa nyeri saat mengingat semuanya.
Fatimah melangkah keluar. Ia menemukan sahabat Zara dan Arkan yang masih terlihat kacau. Dalam pikiran Fatimah, mereka begitu karena Zara yang tak kunjung sadar.
"Zara sadar. Mama mau panggilin dokter dulu, yah." Nampak binar bahagia diwajah Fatimah.
Arkan yang semua masih mengepalkan tangannya, kini terlihat lebih tenang. Bahkan matanya nampak berbinar. Begitupun keempat sahabat Zara.
Dokter memeriksa Zara sebentar. Kondisi Zara sudah mulai membaik. Namun lukanya belum pulih hingga ia masih tidak diperbolehkan untuk pulang.
Wajah Zara masih nampak pucat saat keempat sahabatnya melangkah masuk untuk menjenguknya. Penampilan mereka kusut namun mata mereka berbinar. Bahkan Risya nampak meneteskan air mata.
Risya maju lebih dulu. Ia memeluk Zara. "Maafin aku. Maafin aku, Ra." Risya berbisik.
"Nggak. Aku yang harusnya minta maaf sama kalian semua." Zara menjawab pelan.
Zoya ikut menghampiri keduanya dan ikut berpelukan.
Raka dan Zidan terkekeh. Seperti Teletubbies saja mereka. Berpelukan. Hehehe.
Risya dan Zoya melepas pelukannya. Namun Risya tak melepas genggaman tangannya pada Zara.
Raka mengacak rambut Zara pelan. "Maaf."
"Kita saling memaafkan aja. Kita lupain semua yang udah terjadi. Yang berlalu biarlah berlalu. Setidaknya, ada hikmah yang kita ambil. Kita harus jadi sahabat yang lebih baik dan saling ngerti lagi. Yah?" Zidan sepertinya sedang benar.
"Lo makan apa tadi pagi, Dan? Kok tumben bener?" Zoya memandang heran Zidan.
"Makan ati."
Kelima sahabat itu tertawa. Sungguh rindu rasanya bisa tertawa bersama seperti itu lagi.
Selama Zara sakit, hanya ada keheningan dan rasa bersalah yang seakan menghantui dan hendak membunuh mereka. Kini, mereka bisa bernafas lega.
"Memulai dari awal?" Raka bertanya sambil tersenyum manis.
"Mulai dari awal." Zara, Risya, Zoya dan Zidan berucap serempak.
***
Zara memandang Risya yang tengah mengupaskan buah apel untuknya padahal sudah berulang kali ia tolak. Memang Risya namanya juga.
"Sya," panggil Zara.
Risya berdehem.
"Gimana kabar Agung?"
Gerakan Risya terhenti. Ia nampak bingung dan gugup. Risya berdehem untuk menetralkan suaranya agar tak terdengar gugup.
"Udah pulih lebih dulu dari kamu. Dia udah masuk kemaren." Risya menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Novela JuvenilSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...