B A G I A N 33 | Nanza

291 16 0
                                    

Zara berkali-kali mematut dirinya di cermin. Ia menatap wajahnya yang masih polos tanpa make up. Tampak pucat. Zara tidak suka itu. Ia terlihat begitu lemah. Ia tidak suka jika nanti bertemu orang-orang lalu mereka mengasihani dirinya.

Setelah memoles sedikit wajahnya dengan make up, ia mengulum senyum. Setidaknya wajahnya terlihat lebih fresh sekarang. Terlebih dengan lipstiknya yang berwarna merah muda membuat dia terlihat berbeda dengan sebelum make up.

Zara meraih tas selempang miliknya hendak keluar dari kamar. Namun langkahnya terhenti.

Ia menunduk sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri. Nafasnya mulai sesak. Zara merasakan udara sekitarnya menipis membuatnya kesulitan bernafas.

"Kenapa rasanya lebih sakit dibandingkan sebelumnya?" bisik Zara lirih dalam hati.

Zara memukul-mukul dadanya yang masih terasa nyeri berharap rasa sakitnya berkurang.

"Aku harus kuat," bisiknya lagi dengan lirih.

Zara meletakkan tasnya kembali lalu duduk di pinggir kasurnya. Ia berusaha mengatur nafasnya kembali.

Zara menarik nafasnya perlahan kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Ia mengulangi itu berkali-kali hingga merasa lebih baik.

"Zara," panggil Arkan dari depan kamar Zara.

Zara memejamkan matanya. Mengigit bibir bawahnya.

"Aku kuat!" ucap Zara menyemangati dirinya dalam hati.

Zara membuka kedua matanya. Ia berusaha kembali tersenyum.

"Iya, kak. Bentar lagi aku keluar," sahut Zara.

"Oke, cepetan yah."

Zara mendengar langkah kaki Arkan yang berjalan menjauh. Ia kemudian menghela nafasnya. Sampai kapan ia harus seperti ini. Rasanya semakin hari semakin sakit.

Zara meraih tas selempang miliknya lalu beranjak dari duduknya, melangkah menuju meja makan. Tempat Mama dan kakaknya menunggunya.

"Ra, Ma," ucap Arkan ketika dirinya sudah duduk di ruang makan.

Zara dan Fatimah menoleh pada lelaki satu-satunya yang ada di ruangan itu. Arkan tersenyum lebar.

"Arkan ada kabar baik."

"Kabar baik apa kak?" tanya Zara. Sepertinya sudah lama ia tidak mendengar kabar baik dari Arkan.

"Mama sama Zara masih inget Om Rio enggak?" Arkan melontarkan pertanyaan.

"Masih. Temen kerja Papa itu kan?" jawab Fatimah.

Arkan mengangguk.

"Iya, Ma. Yang itu. Arkan ketemu lagi sama Om Rio terus Arkan ditawarin jadi direktur di perusahaannya. Soalnya katanya dia lagi butuh orang yang nanganin salah satu perusahaannya. Dan kebetulan dia ketemu Arkan. Ternyata dia temennya bos Arkan juga," tutur Arkan.

Fatimah tidak bisa menahan senyumnya. Melihatnya, Zara ikut tersenyum.

"Alhamdulillah," ucap Fatimah diikuti Zara.

"Bos Arkan itu muji-muji Arkan di depan Om Rio. Katanya kerja Arkan bagus," tutur Arkan lagi.

"Ya Allah, Alhamdulillah." Fatimah kembali berucap dengan penuh haru. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca.

"Takdir Allah itu emang enggak ada yang tau. Apapun bisa terjadi atas kehendak-Nya. Kita jangan sampai lupa kalau semua ini punya Allah. Kapan aja Allah bisa kasih atau Allah ambil. Kita harus banyak-banyak bersyukur," kata Fatimah dengan lirih.

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang