B A G I A N 30 | I'M OKAY

287 13 0
                                    

Zara menoleh pada Risya yang sudah terlelap dalam mimpinya. Ia tersenyum.

"Makasih, Sya. Aku beruntung punya kamu," bisiknya.

Zara menunduk. Perlahan, air mata mengalir semakin deras di wajahnya. Tanpa disuruh, tanpa dipinta. Mengalir begitu saja.

Ia menahan Isak tangis yang hendak keluar dari bibirnya. Menutup matanya sebentar untuk menenangkan hatinya.

Zara kembali membuka matanya. Ia tersenyum tipis lalu berucap pelan, "kamu bener, Sya. Aku nggak mau dengerin diri aku sendiri. Soalnya aku nggak mau jadi gadis lemah di hadapan diri aku sendiri."

"Ini ... saakiit sekali. Sungguh menyiksa. Sungguh melelahkan. Maaf, aku. Maaf diriku. Aku sempat tidak mendengarkan kamu ...."

Isak tangis Zara terdengar. Sulit sekali rasanya menahan tangis yang hendak menderai. Sesak. Seperti ada yang hendak mendobrak. Mendorong dengan kuat di dada. Meronta hebat hendak dikeluarkan.

Rasanya air mata mengalir tidak bisa dihentikan. Ingin menjerit, namun justru semakin sakit. Semua terasa menghimpit.

Zara menarik nafasnya, lalu menghembuskannya pelan-pelan. Semua kejadian yang menimpanya bagai kaset kusut yang diputar ulang. Membuatnya begitu merasa sakit hati.

Sangat sakit. Namun ia tidak mampu berbuat banyak. Hanya inilah yang bisa dia lakukan. Pura-pura tidak tahu padahal tahu.

Ia tahu saat orang-orang disekitarnya membicarakannya. Ia tahu saat orang-orang di sekitarnya merendahkannya, meremehkannya. Bahkan juga kepada keluarganya.

Sakit? Tak perlu ditanya lagi. Sangat sakit. Menyiksa sekali. Ingin bisa berbuat banyak namun nyatanya tak bisa apa-apa.

Juga semakin lama, jantungnya terasa semakin nyeri. Soal ini, Zara benar-benar tidak sanggup.

Semenjak kakaknya bangkrut, lelaki itu tidak lagi membelikannya obat. Bahkan hingga sekarang, Zara tidak berani meminta dibelikan.

Obat-obatnya sungguh banyak dan tentu saja dengan harga yang tidak bisa dikatakan murah. Terlebih jika ia harus memeriksa lagi. Mungkin bisa jadi obatnya akan bertambah banyak.

"Aku ... tidak tau, Sya. Sampai kapan ... aku ... bisa bertahan." Zara berucap sambil menahan Isak tangis yang hendak keluar.

Ia sempat terdiam sangat lama. Sebelum kembali berkata.

"Nggak! Aku ... harus kuat. Untuk Mama, untuk kakak, dan untuk diriku sendiri! Aku ... pasti bisa!" Zara menyemangati dirinya sendiri.

"Sya," panggil Zara pada Risya yang sudah tertidur pulas.

"Sya," panggilnya lagi. Kali ini sambil menggoyangkan tubuh Risya.

"Hmm ...."

"Punya nomor Agung?"

"Em? Nggak tau Agung siapa. Nggak kenal. Mas Agung? Mas Siwon yah? Suju? Eh?" gumam Risya.

"Apaan sih?" Zara terkekeh pelan mendengarnya.

"Agung, Sya. Temen SMA."

"Oh ... si lelaki br*ngs*k ... itu? Liat aja ... di hp aku," jawab Risya setengah bergumam.

"Aku liat yah?" tanya Zara lagi.

"Hmm ...."

Zara meraih ponsel Risya. Ia langsung mencari nomor ponsel Agung. Tak ingin berlama-lama menggunakan ponsel Risya ketika gadis itu sedang tidur. Rasanya tetap saja tidak sopan.

Setelah menemukan nomor ponsel Agung lalu mengirimkannya pada nomornya sendiri, Zara mengembalikan ponsel Risya.

Zara memperhatikan angka terakhir nomor ponsel Agung di ponselnya. Lalu membuka aplikasi pesan. Memastikan nomor yang beberapa hari mengganggunya itu.

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang