"Zara! Kak Arkan nanti telat! Kamu kan harus sarapan! Cepet turun!" Arkan memanggil sambil berteriak pada Zara.
Zara mendengus kesal. Sebenarnya ia sudah bersiap sejak tadi namun ia bingung bagaimana cara agar lukanya tertutup.
Ia berulang kali memakai topi namun melepasnya lagi. Ini sudah panggilan Arkan yang ke sekian kali. Kakaknya akan telat. Ia tidak boleh merugikan Arkan.
Zara turun dengan cepat menuju meja makan. Ia langsung duduk di sebelah kakaknya tanpa menyapa Mama dan kakaknya itu.
Keduanya memandang Zara heran.
"Kenapa pake topi, Dek? Nggak biasanya pake topi," tanya kakak dengan heran.
"Nggak papah. Biar beda aja." Zara dengan cepat menghabiskan sarapannya.
"Yuk, berangkat. Nanti kakak telat. Mah, Zara pamit yah," Zara bangkit dari duduknya dan mencium punggung tangan mamanya itu.
Fatimah memandang heran anak bungsunya itu. Tingkahnya aneh hari ini. Namun jika anaknya itu tidak terlihat sakit, menurutnya tak ada yang perlu di khawatirkan.
"Yaudah, Arkan sama Zara berangkat yah, Mah." Arkan mencium punggung tangan mamanya.
"Iya, Nak." Fatimah menjawab.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Tak ada obrolan dalam perjalanan. Lebih tepatnya Zara menghindari kecakapan dengan kakaknya di motor. Ia tidak ingin mendapatkan pertanyaan yang sulit dijawabnya nanti.
"Zara," panggil kakaknya.
Namun harapan Zara itu tidak terkabul.
"Iya," sahut Zara.
"Kamu baik-baik aja, kan?"
"Iya, Zara baik-baik aja. Emang keliatannya nggak baik?" Zara balik bertanya.
"Baik, sih. Bagus deh kalau gitu. Oh, iya nanti pulang kakak nggak bisa jemput. Nanti kamu bareng Raka aja yah?"
Entah Zara harus bersyukur atau justru kesal. Namun ia merasakan dua-duanya sekaligus.
Satu-satunya lelaki yang selalu Arkan andalkan adalah Raka. Ia selalu yakin lelaki itu akan menjaga adiknya.
Namun entah mengapa, Zara justru tidak senang. Ia merasa kemanapun harus ditemani dan tidak bisa bebas. Padahal Raka pun sahabatnya.
"Ra," panggil Arkan karena adiknya itu tak menjawab.
"Iya, kak."
***
Zara melangkah pelan menuju kelasnya. Topinya masih berada di kepalanya. Ia melangkah menunduk dan dekat ke tembok.
Ia terlalu percaya diri, kah? Terlalu yakin semua orang akan menanyakan keadaannya? Zara menertawakan diri sendiri. Ia mencopot topinya. Ia tersenyum miris.
Duk!
Huft ... Pagi yang tidak baik. Sepertinya Zara menabrak seseorang. Zara mengangkat kepalanya menatap lelaki yang ditabraknya."Agung?" Zara menatap lelaki jangkung di hadapannya yang tersenyum. Aih, senyumnya itu membuat jantung Zara hampir copot. Terlalu lebay? Ia tidak perduli.
"Gimana keningnya? Masih sakit?" Senyum diwajah Agung menghilang berganti gurat sesal.
"Nggak, kok. Udah baikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Ficção AdolescenteSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...