Agung mengelap keringat di dahinya. Sudah sekitar setengah jam Agung dan kedua sahabatnya bermain basket di lapangan.
"Capek gue. Beli minum gih, Ray!" Nando sudah duduk dipinggir lapangan.
"Sip!" Ray berlalu meninggalkan Agung dan Nando.
Agung menyusul Nando yang duduk di pinggir lapangan. Keduanya mengontrol nafasnya yang kelelahan akibat bermain basket.
"Udah lama gue nggak maen basket," ucap Nando. Ia lalu terkekeh pelan.
Agung ikut terkekeh. "Sama, gue juga."
"Gung," panggil Nando.
"Apa?" Agung menoleh pada Nando. Nando menunjuk sesuatu dengan dagunya.
Ah, tidak bukan sesuatu. Tapi seseorang.
Agung terdiam. Itu Zara dan keempat sahabatnya. Sepertinya mereka tidak melihat keberadaan Agung dan Nando di pinggir lapangan. Mereka berlaku begitu saja sambil mengobrol dan sesekali tertawa.
Agung menunduk. Seberapapun usahanya, kini ia masih belum bisa melupakan Zara.
"Gue denger Zara pakai kerudung semenjak ayahnya meninggal. Katanya dia nggak rela kalau ayahnya yang udah pergi menderita karena dia yang masih buka aurat. Gue tau dari Risya. Gue sama Ray suka tukar informasi sama Risya. Nggak papah, kan?"
Agung tersenyum tipis. "Terserah lo itu mah. Tapi jangan terlalu deket sama Risya. Gue tau, Ray beneran suka sama Risya. Lagi juga ada Sasha yang harus Lo jaga perasannya."
"Apaan gue dibawa-bawa?" Ray menghampiri Agung dan Nando.
"Lo ... Suka sama Risya, kan?" tanya Agung telak. Ray terdiam tak bisa menjawab.
"Ayo jujur! Atau ... Mao gue embat tuh cewek?" Nando terkekeh pelan.
"Eh, enak aja. Punya gue tuh!" Ray tak terima.
"Ceileh, udah diakuin punya dia ternyata, Gung. Hahaha." Tawa Nando menderai.
Bibir Agung terangkat ke atas membentuk lengkungan. "Yang bener kalau cinta. Jangan permainin. Bukannya Risya juga tau kalau Lo playboy?"
"Iya. Gue juga nggak tau dia suka sama gue apa nggak. Tapi gue lagi pedekate nih. Doain aja yah, abang-abang kece." Ray mengedipkan sebelah matanya.
Agung bergidik ngeri. Ia mengambil botol minuman di tangan Ray. "Gue ambil jatah." Ia berjalan menjauh dari Nando dan Ray.
Ray tertawa pelan. "Iya deh. Nih, Do." Ray memberikan botol minum pada Nando. Ia memang membeli tiga botol air minum.
"Makasih, abangku yang kece." Kini Nando yang mengedipkan sebelah matanya.
Ray bergidik. "Gung, tungguin gue!" Ia segera melangkah menghampiri Agung.
"Kan, gue ditinggalin lagi. Emang udah nasib." Nando bangkit dari duduknya. "Tungguin gue abang-abang kece!"
Agung dan Ray menoleh. Bukannya menunggu Nando, keduanya justru lari menjauh.
"Woy!" Nando berlari menyusul.
***
"Ra, Lo mao pesen apa?" Risya bertanya. Sejak sampai di kantin Zara lebih banyak diam.
"Hah? Em, gue ikut Lo aja deh."
"Yaudah. Gue yang pesen yah," ucap Risya pada ketiga sahabatnya yang lain.
"Iya!"
"Sip!"
"Oke!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
أدب المراهقينSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...