"Sya," panggil Zara pada Risya yang tengah memainkan ponselnya.
"Iya?" Risya menoleh pada Zara. Melihat sahabatnya itu nampak bimbang, Risya memilih untuk berfokus mendengarkan.
"Em, kamu punya kerjaan lagi nggak buat aku?"
"Hah? Bukannya kamu udah ada kerjaan di coffee shop?"
Zara terdiam. Dia menunduk sebentar lalu menghembuskan nafasnya berat. Zara kembali mengangkat kepalanya dan menatap Risya.
"Semua ini belum cukup buat ngembaliin ekonomi keluargaku."
Risya terdiam. Tentu saja dia mengerti semuanya. Mengerti apa yang terjadi. Semua yang terjadi padanya, bahkan kesedihan dan luka sahabatnya itu juga terasa menyakitinya.
Risya berpikir sejenak.
Zara hanya diam menunggu keputusan sahabatnya itu. Ia harap kesempatan lain untuknya masih ada.
Risya menjentikkan jarinya. "Gambar di atas meja kamu waktu itu, itu gambar siapa?"
Zara terdiam sejenak. Ia nampak ragu namun untuk apa ia menyembunyikan gambar itu. Tak ada gunanya. Jika Risya menanyakannya saat ini, berarti sahabatnya itu terpikir suatu ide untuknya.
"Gambar aku." Zara menjawab singkat.
"Kamu yang buat?" Risya memastikan.
"Iya."
Senyum di wajah Risya terbit. Sahabatnya memang berbakat.
"Gambar sketsa kamu bagus, Ra. Aku tau dimana tempat yang mau nerima karya kamu itu. Harganya tinggi loh sekali gambar gitu. Apalagi kualitas gambar kamu, wah banget sih." Risya nampak semangat menjelaskan.
Namun Zara masih nampak ragu. Sebagus itukah karyanya, ia bertanya-tanya dalam hati.
"Ayo, Ra. Kamu pasti bisa. Kamu tuh berbakat banget, Ra. Aku aja yakin sama keberhasilan kamu kedepannya, masa kamu nggak yakin sama diri kamu sendiri."
Zara terdiam. Itulah yang membuat langkahnya sulit selama ini. Ia belum bisa yakin dengan dirinya sendiri.
"Maaf yah. Aku belum bisa yakinin diri aku sendiri." Zara menunduk dalam.
Dasar Zara. Risya sudah mau membantu, dirinya malah seperti ini. Seakan tidak menghargai saran sahabatnya itu. Zara merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Nggak papah kok, Ra. Aku ngerti. Kamu bisa yakinin diri kamu sendiri dulu. Aku bakal nunggu keputusan kamu kapanpun itu." Risya tersenyum pada Zara.
Zara terdiam. Risya begitu baik padanya. Ia merasa semakin sedih sekarang. Sedih karena terus meminta bantuan tanpa memberikan kembali bantuan. Padahal dirinya tau, Risya tidak mengharapkan itu.
***
Zara terdiam menyimpan segala pertanyaan di kepalanya dalam hati. Ia terus saja melangkah memasuki coffee shop tanpa mengacuhkan orang-orang yang berdiri di depan coffee shop.
"Ra," panggil Nando.
Zara segera menoleh pada atasannya itu. Sebenarnya ia tak seharusnya bingung jika melihat keberadaan Agung di samping Nando. Mereka kan bersahabat. Tentu bisa saja bersama.
Namun ini adalah jam kerja. Keduanya seharusnya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Iya."
Zara berjalan menghampiri keduanya. Lebih tepatnya menghampiri Nando. Ia menghormati Nando sebagai pemilik dari Coffee shop tempatnya bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...