Zara melirik kembali jam tangannya. Sudah lima belas menit Zara tiba di lokasi yang Agung berikan. Namun lelaki itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Zara menatap keluar jendela. Suasana di luar kafe itu terlihat ramai. Orang-orang hilir mudik. Sibuk dengan urusannya masing-masing.
Memang begitulah kenyataannya sekarang. Jarang orang yang peduli pada orang lain. Karena tidak ingin dianggap mencampuri urusan pribadi orang lain.
Oleh sebab itulah Zara sekarang sangat menghargai bila ada orang lain yang masih peduli terhadap sesama.
Zara tersenyum. Seorang remaja tengah memapah seorang kakek yang hendak menyebrang jalan.
Diantara banyak orang yang sibuk, remaja itu rela waktunya yang sangat berharga tersita untuk menolong kakek tua yang kesulitan menyebrang jalan. Sedangkan orang lain nampak tidak acuh pada kakek itu.
"Ra," panggil seseorang.
Panggilan itu membuat Zara mengalihkan perhatiannya. Ia menoleh pada sang pemanggil.
Lelaki bertubuh jangkung dengan pakaian yang begitu rapi itu duduk di hadapan Zara sambil bersandar.
"Ada apa?" tanya Agung, to the point.
Ya, lelaki itu Agung. Lelaki yang semalam ia kirimi pesan. Lelaki yang semalam di bilang brengsek oleh Risya. Lelaki itu kini duduk di hadapannya. Menatapnya dengan heran.
"Ada yang perlu gue omongin," ucap Zara.
"Urusan pekerjaan?"
"Bukan." Kali ini justru Zara yang dibuat heran.
Urusan pekerjaan yang mana juga yang harus dia bahas dengan Agung. Jika ada pun pasti Zara mengajak Nando bersama mereka. Karena Nando adalah pemilik Coffee shop tempat Zara bekerja.
"Kirain soal pekerjaan. Soalnya elo ngirim pesannya formal banget."
Zara tersenyum tipis. "Nggak kok, gue mau ngomongin tentang kita."
Agung menegakkan tubuhnya. Sebenarnya sejak tadi jantungnya sudah berdetak abnormal. Ralat, sejak malam tadi lebih tepatnya.
Tiba-tiba Zara mengiriminya pesan setelah beberapa tahun dia tidak pernah membalas pesan Agung.
Lalu hari ini, dia harus bertemu Zara. Hanya berdua. Ya, meskipun di kafe ini banyak orang tetap saja mereka berjanjian bertemu berdua.
Lalu sekarang pada kenyataannya Zara bukan membahas urusan pekerjaan melainkan tentang mereka.
Agung berusaha menermalisir perasaannya. Ia mencoba agar berekspresi sewajarnya saja.
"Tentang kita yang mana yang harus di obrolin?" Agung kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia masih belum berani menatap langsung mata Zara.
Zara menarik nafas sejenak lalu menghembuskannya.
"Gung," panggilnya.
Agung menatap Zara. Begitupun Zara. Pandangan keduanya bertemu.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Agung mengalikan pandangannya. Ia menatap keluar jendela.
"Langsung aja, Ra."
"Elo marah sama gue?"
Agung kembali menoleh pada Zara. Pertanyaan Zara telak. Agung bungkam tak bisa menjawab apa-apa. Ia memilih kembali menatap ke luar jendela untuk menutupi kegugupannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Fiksi RemajaSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...