Arkan menggenggam erat tangan adiknya. Rasa sedih, cemas dan perasaan bersalah menyatu padu membuat hatinya tidak tenang. Tanpa ia sadar, air mata perlahan mengalir di pipinya.
Bahu Arkan bergetar. Ia benar-benar takut kehilangan Zara.
Sebenarnya Arkan sudah trauma berada di rumah sakit semenjak kepergian mendiang papanya. Tangannya sekarang bergetar sekaligus mengeluarkan keringat dingin. Ia terisak.
Fatimah mengusap punggung Arkan dengan lembut. Menenangkan anak lelaki satu-satunya itu. Meskipun terdapat di relung hatinya, ia sesungguhnya juga sedih dan khawatir.
Keduanya menatap wajah Zara yang pucat pasi. Senyum yang sekarang jarang terbit di wajah Zara kini benar-benar sirna. Gadis itu kini hanya mampu terbaring lemah di rumah sakit.
Ingatan Arkan berputar pada kejadian sebelumnya, tepat saat dia dan mamanya berbicara dengan dokter yang menangani Zara sejak dulu.
"Saya sudah bilang sejak awal, Zara harus sering cek up ke sini. Sepertinya Zara juga tidak meminum obatnya, kan? Hal ini membuat kondisi Zara sangat drop. Kita harus cepat-cepat melakukan tindakan operasi. Jika tidak, nyawa Zara bisa terancam," ucap dokter Luthfi saat itu.
"Lakukan apapun untuk kesehatan adik saya, dok. Saya hanya ingin adik saya kembali sehat," mohon Arkan pada dokter Luthfi.
"Tentu saja kami akan melakukan yang terbaik untuk Zara."
"Tolong sembuhkan anak saya, dok," pinta Fatimah.
"Saya hanya makhluk Tuhan, Bu. Berdoalah pada Tuhan untuk kesembuhan anak, Ibu. Semua keputusan terjadi atas kehendak-Nya."
Arkan memejamkan matanya. Kini kepalanya berdenyut memikirkan kondisi Zara.
"Yakin pada Allah, Kan. Kita enggak bisa berbuat apa-apa selain berdoa kepada-Nya untuk kesembuhan Zara," bisik Fatimah.
Arkan kembali membuka matanya. Ia berharap ini semua mimpi. Saat dirinya bangkrut, ia berharap itu mimpi. Saat adiknya dan mamanya harus bekerja keras, ia berharap itu mimpi. Lalu ketika Zara drop seperti sekarang, ia juga berharap itu mimpi.
Tetapi mengapa sejak tadi ia belum terbangun? Arkan masih belum menerima kenyataan bahwa semuanya adalah kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi.
"Kak Arkan udah beli rumah buat kita bertiga, Ra. Kamu nanti enggak perlu capek-capek kerja lagi, Ra. Kondisi keuangan kita udah membaik. Kamu bangun, Ra. Kita harus siap-siap pindah rumah. Kamu pasti bakal suka rumahnya. Ayo, Ra. Bangun," pinta Arkan dengan lirih.
Air mata mengalir di wajah Arkan dan Fatimah sekali lagi. Rasanya sakit sekali melihat Zara terbaring lemah seperti itu.
Arkan melepaskan genggamannya pada Zara. Ia mengelus lembut tangan Zara kemudian menaruhnya pelan-pelan. Arkan bangkit dari duduknya.
"Ma, Arkan keluar dulu yah? Arkan mau cari udara segar," ujar Arkan dengan pelan.
Fatimah mengangguk. Ia menatap punggung Arkan yang menjauh dengan sendu. Ia lalu menghela nafasnya.
Arkan menutup pintu ruang rawat Zara dengan pelan. Masih terlihat gurat kesedihan di wajahnya.
"Kak Arkan gimana kondisi Zara?" tanya Risya dengan panik. Di sana ada Ray, Nando dan Agung yang ikut hadir.
Arkan terdiam. Ia masih bungkam.
"Tenang dulu, Sya." Ray mencoba menenangkan Risya.
"Zara harus segera melakukan operasi transplantasi jantung," jawab Arkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...