Sang mentari belum menunjukkan bentuk tubuhnya sempurna. Hanya sebagian yang baru terlihat bersama sejuknya pagi hari. Mentari mengeluarkan sinar yang menghangatkan diri. Masuk ke celah-celah jendela. Termasuk pada jendela seorang gadis bergigi ginsul itu.
Dialah Annisa Zara Humairah. Pipinya yang tirus dengan gigi ginsul yang nampak ketika dirinya tersenyum menambah kesan manisnya.
Zara membuka gorden jendela kamarnya. Nampaklah cahaya matahari yang sudah bersinar. Cahayanya menembus kaca dengan mudahnya.
Dia menatap pantulan dirinya di cermin besar miliknya sambil tersenyum manis. Wajahnya yang agak pucat tetap terlihat manis. Tubuhnya yang agak pendek membuatnya terkesan imut.
"Zara, cepetan turun! Nanti kamu telah sekolahnya," seru Fatimah—Mama Zara dari lantai satu rumah mereka.
"Iya, Mah," jawab Zara. Ia segera mengambil tas ransel miliknya lalu langsung menuju ke lantai satu rumahnya tempat Mama serta kakaknya berada.
Setibanya di lantai bawah, Zara langsung mencium punggung tangan kedua orang yang dicintainya, Mama dan kakaknya.
"Lah, mau sarapan aja cium tangan dulu?" tanya kakaknya bingung.
"Hah? Siapa bilang Zara mau sarapan. Zara udah telat. Zara berangkat yah." Zara hendak melangkah keluar dari rumah.
"Eits! Ra, mau kemana? Sarapan dulu," cegah Fatimah.
"Zara sudah telat, Mah. Nanti Zara sarapan di sekolah aja," ujar Zara sambil menunjukkan jam di tangannya kepada mamanya.
"Nggak, sarapan dulu. Mama nggak mau kamu kenapa-napa, Ra. Jangan buat Mama khawatir sama kamu." Mama Zara memegang pundak Zara lalu mendudukkan Zara di kursi makan.
"Tapi Zara nggak papah, Mah. Buktinya Zara nggak papah, kan? Mungkin penyakit papah itu nggak nurun ke aku, Mah. Jadi buat apa aku harus ngejalanin banyak proses buat ngejaga kondisi aku. Toh, aku baik baik aja," sanggah Zara. Ia kemudian bangkit dari duduknya.
"Zara, ikuti ucapan Mama. Mama cuma khawatir sama kamu. Mama itu cuma satu-satunya orang tua kita sekarang. Mama cuma khawatir sama kamu. Nggak mau kehilangan kamu kayak kita kehilangan papah. Ngerti dong, dek." Arkan—kakak Zara menasehati Zara.
"Tapi kenapa harus aku? Kenapa harus nurun ke aku, Mah? Aku juga mau bebas kayak remaja yang lain," lirih Zara.
Ia menatap mamanya dengan sendu. Untuk beberapa saat Zara terdiam.
Lalu tanpa menunggu jawaban mamanya, Zara langsung melangkah keluar rumah diiringi dengan salam darinya.
Fatimah dan Arkan hanya menatap punggung Zara yang semakin lama semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Hanya keheningan antara kedua orang yang selalu khawatir dengan kondisi Zara.
Tak lama, Arkan bangkit untuk menyusul adiknya itu yang mungkin belum jauh. Sebelum itu, dia berpamitan pada mamanya.
Benar saja dugaan Arkan, Zara masih berada di sekitar komplek perumahan mereka. Arkan menghampiri adiknya dengan motor hitam miliknya.
"Naik, Dek!" perintah Arkan pada adiknya.
Zara hanya diam dan terus berjalan tanpa memperdulikan kakaknya itu. Arkan bisa melihat keringat Zara yang mulai keluar dari pelipisnya. Begitu berlebihan jika dilihat Zara hanya jalan biasa dengan jarak dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...