Bunyi lonceng terdengar saat Zara dan Nando memasuki coffee shop. Keduanya membawa beberapa paper bag.
Zara tak bersuara sama sekali. Ia hanya melangkah mengikuti Nando. Itu yang sejak tadi ia lakukan seharian ini.
Hanya diam mengikuti langkah lelaki yang dijuluki barista idola itu. Lelaki itu mengajaknya berbelanja kebutuhan di coffee shop terutama bahan coffee yang hampir habis.
Nando juga mengajak Zara periksa ke dokter tentang kondisinya namun gadis itu menolak dengan halus. Ia tidak ingin merepotkan lelaki itu lagi.
Tapi Nando tetaplah Nando. Karena Zara menolak periksa ke dokter, ia lantas mengajak Zara ke apotek untuk membelikan gadis itu obat. Kali ini, Zara tak bisa menolak.
Langit telah gelap. Bintang pun telah muncul. Bahkan senjapun telah hilang bersama waktu yang terus terlewati.
Malam ini coffee shop terlihat agak ramai diiringi dengan suasananya yang nyaman karena iringan musik yang mengalun lembut.
Nando sudah kembali ke tempatnya diposisi barista. Ia kini kembali dengan gayanya. Terlihat beberapa gadis mulai mencuri-curi pandang pada Nando namun lelaki itu nampak tak peduli.
Afnan berjalan menghampiri Zara. "Gimana, Ra? Udah baikan?"
"Udah kok. Iya, kan?" Suara Zara terdengar lebih ringan sekarang.
Afnan mengangguk sambil tersenyum. "Udah siap mulai dong?" Ia kemudian terkekeh pelan.
Zara mengangguk. Ini memang tugasnya. Ia harus mulai bekerja lagi.
Zara mulai kembali menyapa para mengunjung yang datang serta melayani mereka dengan ramah.
Tanpa gadis itu sadari, ada seorang lelaki dengan jasnya yang berwarna putih memperhatikan gerak-gerik Zara. Lelaki itu tak mengalihkan pandangannya sedikitpun.
Zara melayani salah seorang pelayan yang duduknya tak jauh dari lelaki berjas putih itu. Namun ia tak kunjung sadar jika sedang diperhatikan.
Itulah yang lelaki itu tunggu-tunggu sejak tadi. Ia menunggu Zara berada dekat dengannya. Lelaki itu mengangkat tangannya.
Zara menoleh pada lelaki itu. Gerakan Zara terhenti. Matanya bertemu dengan mata lelaki itu.
Lelaki berjas putih yang tengah menyeringai pada Zara. Ia melipat kaki kirinya di atas kaki kanannya. Tangan kirinya masih ia angkat dan belum ia turunkan.
Haruskah Zara menghampiri lelaki yang sudah lama ia tidak temui?
Lelaki yang terlihat lebih rapih dan bersih.
Zarapun tidak bisa berbohong. Lelaki itu kini ... terlihat lebih tampan.
Namun mengapa Zara tak tersenyum? Karena wajah lelaki itu terlihat lebih angkuh sekarang.
"Ada yang bisa saya bantu?" Zara bertanya ketika dirinya sudah berdiri di hadapan Agung. Ya, lelaki itu adalah Agung.
Tak seperti saat melayani pengunjung lain, kini Zara tak terlihat ramah. Tatapannya datar begitupun dengan wajahnya.
"Saya pesan satu permintaan maaf. Bisa?" Agung kini melipat kedua tangannya di depan dada.
"Apa?" Zara mengerutkan keningnya.
Agung tertawa hambar. "Saya pesan permintaan maaf dari anda. Apa itu kurang jelas?"
"Kami tidak menyediakan itu."
Agung kembali tertawa. "Tadi anda selalu minta maaf pada pengunjung lain sekalipun anda tidak melakukan kesalahan. Maaf, ada yang bisa saya bantu? Maaf bisa anda ulangi? Maaf, maaf, dan maaf. Apa sulit memberikan saya satu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...