B A G I A N 26 | P.M

333 13 0
                                    

"Ra," panggil seseorang.

Zara yang baru saja selesai memberikan pesanan pelanggan segera menoleh kepada si pemanggil.

"Ray?" Zara mengerutkan keningnya.

"Nando dimana?" tanya Ray.

"Em, Nando—"

"Kenapa Ray?" Nando menyahut. Ia berjalan menghampiri Ray dan Zara. Masih dengan apron yang selalu dipakainya.

"Agung minta gue ke sini. Katanya ada yang mau dia omongin ke kita."

"Ooh, gitu. Kirain ada apa. Dia juga ngomong gitu ke gue. Yaudah, Ra. Lo boleh balik kerja." Nando tersenyum pada Zara.

Zara mengangguk patuh dan meninggalkan Nando dan Ray.

Nando dan Ray segera mencari posisi tempat duduk. Mereka memilih duduk di meja bundar dengan tiga kursi yang berada tak jauh dari jendela transparan.

"Lo baru abis ngerekrut karyawan baru?" Ray melirik Dirga dan Gibran yang sibuk dengan posisinya masing-masing.

"Iya. Makin ke sini gue makin susah fokus jadi barista. Oh iya, niatnya gue pengen bangun coffee shop di tempat lain juga. Kali ini deket kampus. Gue udah punya calon-calon karyawan dan lokasi yang pas. Gue juga udah punya konsep buat coffee shop selanjutnya. Gue pengen nanya pendapat Lo dulu sebelum Agung. Gimana Ray?" Nando menatap Ray dengan serius.

Ray terkekeh pelan. Ia lalu tersenyum bangga. "Gue pasti setuju lah. Gue dukung banget dan seneng banget Lo bisa bukan cabang coffee shop. Kalau bisa, sampe terkenal berbagai daerah. Gue tau Lo tuh ahli banget di bidang coffee. Konsep yang Lo punya juga bagus-bagus. Tenang aja, gue bakal bantu di bagian promosi. Hehehe."

Nando ikut tertawa pelan. Ray memang selalu mendukung niat baik yang ia lakukan. Lebih tepatnya yang ia dan Agung lakukan. Bahkan bukan hanya mendukung. Tetapi ikut berperan dalam niat baik itu.

"Makasih banget nih ya."

"Plis deh nggak usah kayak gitu. Lo sama Agung tuh udah kayak saudara kandung gue. Lo berdua tau itu, kan?"

Nando mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menoleh ke arah pintu masuk ketika lonceng berbunyi.

Seorang lelaki dengan tubuh jangkung serta pakaian yang rapih memasuki coffee shop. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling coffee shop.

Senyum lelaki itu terbit saat pandangannya bertemu Ray dan Nando. Ia berjalan menghampiri kedua sahabatnya itu.

"CEO muda kita udah dateng nih." Ray menyambut kedatangan Agung.

Nando yang tengah bersandar pada kursinya terkekeh mendengar ucapan Ray. Agung pun duduk di antara mereka.

"Jadi, ada apa nih ngajak kita ketemuan di sini?" Nando menegakkan tubuhnya.

"Gue mao mulai bisnis baru." Agung mengawali pembicaraannya.

"Lo kan baru ngerilis jam tangan R.A kemaren?" Nando mengerutkan keningnya bingung menatap Agung, meminta penjelasan.

Bingung dengan keputusan Agung. Bingung pula dengan sahabatnya yang begitu cepat menemukan ide baru. Lebih tepatnya, kagum.

"Hahaha, dalam urusan bisnis mah nggak ada kata berenti." Ray menyahut.

Nando mengangguk-anggukkan kepalanya. Ray benar.

"Jadi, Lo butuh modal lagi?" Ray bertanya pada Agung. Ia terus tersenyum. Ikut senang dengan kesuksesan kedua sahabatnya.

"Nggak. Gue cuma mao ngasih tau." Agung menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

"Hahaha, gue hampir lupa kalau sekarang temen kita ini udah jadi CEO muda yang sukses." Ray terkekeh, setengah menyindir.

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang