Mentari kembali menyapa bumi. Kicauan burung tidak lagi terdengar. Tergantikan dengan suara mesin motor yang dipanaskan dari rumah tetangga.
Risya mengerutkan keningnya. Semalam ia tidak terlalu memperhatikan wajah Zara. Wajah sahabatnya itu semakin pucat. Tubuhnya makin kurus.
Bukankah kondisi keluarga Zara kian membaik? Begitu yang ia dengar dari Arkan. Namun sepertinya tidak begitu dengan kondisi tubuh Zara.
"Ra," panggil Risya.
Zara yang sedang memakaikan lipstik di bibirnya, menoleh.
"Kapan terakhir kali kamu cek kondisi jantung kamu?" tanya Risya.
Zara terhenyak. Pertanyaan Risya pagi-pagi sudah begitu berat. Ia menimang sebentar.
"Entahlah. Aku lupa," jawabnya.
Risya menghembuskan nafasnya kuat-kuat. "Kamu harus periksa lagi, Ra."
Zara tersenyum seakan-akan memberitahu bahwa dirinya baik-baik saja.
"Oh iya, lokasi kerja aku dipindah sama Nando," tutur Zara. Gadis itu kembali menghadap ke cermin.
Risya tersenyum kecut. Zara sedang mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa di pindah?"
Zara nampak berpikir sebentar.
"Em, aku juga kurang tau sih. Mungkin karena dia mau buka cabang di tempat lain dan butuh karyawan yang nemenin."
Risya tiba-tiba terkekeh. "Boleh juga si Nando modusnya."
"Hah?" Zara menoleh pada Risya dengan dahi berkerut.
"Udah enggak usah dipikirin. Oh iya, jangan lupa kirim lokasi kafenya ke aku yah. Kapan-kapan aku mampir ke sana."
Zara mengangguk. "Oke!"
***
Nando tersenyum lebar. Ia membuat coffee dengan penuh semangat. Sesekali ia melirik Zara yang memasukkan cup holder buatannya ke dalam gelas-gelas.
Gadis itu kemudian berjalan menghampiri pelanggan dengan sapaan yang ramah dan penuh senyuman.
Kriiing.
Namun tiba-tiba, senyum di wajah Nando menghilang begitu saja seperti terbawa angin. Seseorang yang baru datanglah yang menjadi penyebabnya.
Lelaki dengan kemeja putih dan jas berwarna hitam melangkah memasuki kafe Nanza. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe. Seperti sedang mencari seseorang.
Ia kemudian tersenyum ketika berhasil menemukan sosok yang sejak tadi ia cari.
Nando melangkah dengan cepat keluar dari bar. Namun baru beberapa langkah, ia dibuat berhenti.
"Kak Nando yah?" tanya seorang pelanggan perempuan.
Nando menoleh sambil mencoba tersenyum ramah. "Iya, saya Nando. Ada apa?"
"Em, boleh foto bareng enggak?" Perempuan itu berkata sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ia terlihat gugup.
Nando melirik Agung. Ya, lelaki yang membuat Nando merasa panas itu adalah sahabatnya sendiri, agung. Lelaki itu terlihat berjalan menghampiri Zara.
"Boleh yah?" tanya perempuan itu lagi.
Nando kembali menoleh pada perempuan itu. Ia mengangguk. Namun tetap saja perhatiannya masih berfokus pada Zara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Teen FictionSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...