Agung memandang ke kursi Zara yang kosong. Ia nampak semakin cemas. Sejak tadi Zara tidak muncul. Begitupun dengan Risya.
Agung gusar. Ia memilih bangkit dari duduknya. "Pak, izin ke toilet."
Kebohongan yang luar biasa. Alasan yang sering dijadikan para siswa untuk bolos. Hal yang jadul sebenarnya. Namun tetap ampuh.
Agung melihat Risya keluar dari UKS. Agung segera menghampirinya.
"Zara kemana?" tanya Agung. Ia sudah tak peduli pada rasa gengsinya.
"Ngapain Lo nanyain? Bukannya udah nggak peduli?" Risya nampak sangat kesal pada Agung.
Agung diam tak bicara namun ia nampak gusar. Ia butuh jawaban.
Melihat kegusaran Agung, Risya langsung menjawab, "dia pingsan tadi. Sekarang dia udah pulang duluan. Lebih baik dia di rumah. Mama dan kakaknya lebih tau apa yang harus dilakuin."
Setelah mengucapkan itu, Risya berlalu begitu saja. Mendengar ucapan Risya, Agung terus merutuki dirinya.
***
"Kemana yah Zara? Kok tadi nggak muncul-muncul." Ray sengaja memancing Agung untuk berbicara. Karena setelah Agung pergi dengan alasan ke toilet, ia tidak kembali lagi hingga bel pulang sekolah.
"Au. Yang izin ke toilet aja kaga balik-balik." Nando ikut menyindir.
Agung mendecak. "Zara tadi pingsan. Terus dia langsung dibawa pulang."
Ray dan Nando menyeringai. Ia bisa melihat kecemasan dan penyesalan Agung. Sahabatnya itu memang masih mencintai Zara.
"Jadinya Lo maunya gimana sekarang?" Nando bertanya sambil tersenyum.
Namun Agung justru semakin muram. "Gue mah maunya tetep berjuang dapetin Zara. Tapi gue punya apa? Semuanya punya cita-cita buat masa depan. Lah gue?"
Nando terdiam. Benar. Ternyata Agung sudah berpikir sajauh itu? Sedangkan dia saja masih main-main.
"Lo bener, Gung. Gue juga nggak tau apa Sasha masih mau sama gue pas tau gue nggak kuliah? Pinter aja nggak, kaya juga nggak." Nando ikut muram.
"Ayolah, kalian masih ada gue. Gue bisa bantu kalian. Kita udah Sahabatan dari lama. Udah kayak satu keluarga. Kita bisa ngampus di satu kampus yang sama. Anggap aja kita emang saudara kandung." Ray menengahi. Namun itu tak membuat suasana membaik.
"Nggak semudah itu, Ray. Gue lebih milih nggak kuliah daripada ngerepotin orang lain." Nando menghela nafasnya.
"Bener kata Nando, Ray. Gue lebih milih kerja aja." Agung menyetujui ucapan Nando.
Ray menghela nafasnya. "Kalian nggak ngerepotin."
Tetap saja. Pilihan Agung dan Nando sudah matang. Mereka tak mau merepotkan dan membebani keluarga Ray.
"Makasih atas tawarannya, Ray. Lo udah terlalu baik sama kita." Nando berusaha tersenyum.
"Ya, tanpa Lo mungkin kita bakal super kesusahan selama sekolah di SMA ini. Dikit lagi kita lulus. Kita bakal tetep jadi sahabat kan, bro?" Kedua sudut bibir Agung tertarik membentuk lengkungan.
"Pastilah!" Ray menyahut.
***
Zara melangkah keluar dari kamar. Kepalanya memang masih terasa berat namun rasa haus membuatnya terpaksa bangkit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Fiksi RemajaSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...