Lelaki berambut hitam itu menatap Zara dengan penuh kesombongan. Ia berdiri dia atas puing-puing keangkuhannya. Dengan seringaiannya yang terlihat merendahkan.
"Selamat datang, Putri Zara. Akhirnya, kita bertemu lagi." Sepasang bola mata lelaki itu menatap lekat mata Zara.
Ucapan selamat datang? Zara berada disitu sejak tadi. Selamat datang untuk apa?
Selamat datang di kehidupanku lagi, Ra. Agung berkata dalam hati.
Zara tau. Dibalik kesombongan yang lelaki itu tunjukan, ada secercah luka yang membuat rasa ingin balas dendam itu membuncah.
Apa lukanya sedalam itu? Zara bertanya dalam hati.
Zara hanya diam. Dia tetap berdiri mematung di sana, tak berniat berpindah ataupun pergi, dengan wajahnya datarnya. Dengan tatapan tajamnya yang menghunus langsung kepada sepasang bola mata lelaki yang berdiri di atas panggung sana. Mulut Zara terkatup rapat. Tak ada senyuman. Tak ada kesedihan.
Satu detik ...
Dua detik ...
Tiga detik ...
Zara memutuskan tatapan itu, membuang muka. Ia di sana untuk bekerja. Bukan untuk bermain-main seperti yang dilakukan lelaki itu.
Dia ... benar-benar berubah. Agung tetap berusaha tersenyum. Padahal dalam pandangan Zara, senyuman itu terlihat menyedihkan.
Dia menjadi pusat perhatian sekarang. Terutama apa yang Agung bicarakan. Semua orang mencari-cari, siapa yang lelaki berjas putih itu maksud.
Namun Zara tak peduli.
"Hidup ini bukan cuma soal permainan. Bahkan saat Lo ada di atas sana, Lo masing sempet-sempetnya bermain sama keadaan. Dasar bodoh." Hati Zara kini menjadi dingin. Sedingin es. Lelaki itu tidak pernah tau bagaimana gadis yang dulu dicintainya bisa berubah sedingin ini. Ya, tak tau dan tak pernah ingin tau. Dia terlalu sibuk dengan usahanya untuk menunjuk diri.
Usahanya untuk menutupi rasa yang tak pernah hilang. Entah mengapa rasa gengsi kini tumbuh begitu besar dalam diri Agung. Agung sama sekali tidak menyadari itu.
Zara menghela nafasnya, pelan. "Dasar lelaki," bisiknya, lebih pelan.
"Dasar lelaki aneh. Kenapa sekarang seakan-akan hidupnya hanya permainan?" Zara bergumam.
Risya dan Ray menatap tajam Agung. Begitupun dengan Nando. Ia sedari tadi sudah berdiri di dekat panggung untuk memutus aksi Agung.
Nando merasa Agung akan menghancurkan semuanya. Apa dugaannya benar?
"Bagaimana rasanya berusaha? Mau menjadi pembantuku?"
Benar.
Sangat benar dugaan Nando.
Agung kini menyeringai penuh kemenangan didepan sana.
Nando mengepalkan tangannya kuat. Rahangnya mengeras. Tak lain dengan Nando, Ray pun nampak kesal. Juga dengan Risya yang sejak tadi justru memperhatikan Zara. Gadis itu nampak biasa saja. Masih dengan wajah dinginnya.
"Saya akan menyanyikan sebuah lagu untuk Putri Zara. Khusus untuk calon pembantuku." Agung kembali berbicara.
"Lelaki itu tak tau malu?!" Risya sudah sangat kesal. Ia bahkan memukul meja dengan kuat membuat beberapa orang menoleh.
Ray berusaha menenangkan Risya. Ray rasa, Zara yang lebih berhak memberikan respon. Jika Zara diam saja, maka mereka tak berhak bertindak.
Agung mulai menyanyikan lagu dengan iringan gitar yang ia mainkan. Semua orang mulai kembali dengan aktifitasnya. Mencoba tidak peduli dengan lelaki berjas putih yang tampan namun begitu gila kata-katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sederas Hujan
Ficção AdolescenteSederas Hujan, terlalu banyak aku terjatuh. Namun aku tak setegar hujan yang memberikan kehidupan meski jatuh berkali-kali. Bisakah aku bangkit? Bahkan bernafas pun sulit. Sungguh takdir membuat mereka keliru dengan skenario-Nya. Bahkan untuk yang...