B A G I A N 28 | Pulih

354 16 0
                                    

Zara terdiam sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Seberapapun ia berusaha untuk tegar, namun rasanya berjuang sendiri dan terus dipukul oleh hinaan itu berat sekali.

Air mata perlahan jatuh di pipinya. Bersamaan dengan rasa sakit yang tiba-tiba muncul tepat di dadanya. Sesak. Begitu menyakitkan.

Zara meremas lalu memukul-mukul dadanya. Berharap rasa sakit itu bisa hilang. Namun semakin lama semakin menyesakkan. Bahkan untuk menarik nafaspun sulit.

Zara memejamkan matanya. Sudah sekian lama ia berusaha melupakan rasa sakit yang terus menghantuinya. Namun seberusaha apapun, sesak di dadanya ini tak kunjung hilang.

"Ra! Lo ngapain sih lama banget? Di cariin Nando tuh!" Terdengar teriakan Afnan dari luar sana.

Zara menarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan bersusah payah. Ketika perlahan rasa sakit itu menghilang, barulah Zara menyahut.

"Iya bentar," jawab Zara.

Tak lama kemudian, ia keluar dari toilet dan menemukan sosok Afnan yang berdiri menunggunya di depan toilet.

"Maaf yah lama," ucap Zara sambil merapikan hijabnya.

Afnan mengerutkan keningnya. "Em, lo baik-baik aja, Ra? Sumpah muka lo pucet banget."

"Nggak papah kok. Yaudah yuk!"

Afnan masih terdiam saat Zara sudah melangkah lebih dulu.

"Aish." Afnan mengacak rambutnya. "Nggak tega gue."

Afnan berlari mendahului langkah Zara. "Ra, serius lo nggak papah? Lo istirahat aja deh, biar gue bilangin Nando lo lagi nggak enak badan."

"Apaan sih, Nan? Gue nggak papah. Lagi emang gue pucet banget yah?"

"Sumpah pucet parah muka lo. Gue nggak pernah liat orang mukanya sepucet lo. Ya, kecuali kalau lagi di rumah sakit."

"Apa sih, Nan. Lebay ah."

"Eh, ternyata kalian di sini. Gue cariin dari tadi," ucap Nando setibanya di hadapan Afnan dan Zara.

"Em, kayaknya Zara lagi kurang enak badan. Apa nggak lebih baik kita ganti orang atau ganti waktu aja? Sampai Zara ngerasa lebih baik?" Afnan memberi usul.

Nando menoleh pada Zara. "Iya, Ra. Bener kata Afnan. Muka lo pucet banget sekarang. Istirahat dulu yah? Atau lo mau pulang lebih awal juga nggak papah."

Zara tersenyum tipis. Baru hendak menjawab tiba-tiba, Agung datang.

"Alah, paling pura-pura. Udahlah kita nggak punya banyak waktu."

Zara terdiam. "Maaf karena menghambat," ucap Zara sambil menunduk.

Agung justru terdiam. Kok elo nggak ngebantah ucapan gue sih? Kenapa lo diem aja, Ra? Agung membatin.

Cukup lama suasana menjadi awkward. Hingga Agung memecah keheningan.

"Ah, kalian harus tau saya itu sibuk sekali. Waktu saya udah terbuang sia-sia. Saya udah nggak ada waktu lagi. Sepertinya kegiatan kita harus diundur. Karena saya ada meeting penting. Kalau begitu saya permisi."

Setelah mengucapkan itu dan bertos ria dengan Nando, Agung pergi meninggalkan mereka.

"Nah, lebih baik lo gue anter ke rumah sakit, Ra. Nggak perlu penolakan. Nan, lo yang handle dulu semuanya. Gue pergi dulu, bye."

Zara masih bungkam namun Nando cepat-cepat menarik tangannya.

Afnan tersenyum, tak butuh waktu lama untuk seseorang yang menjadi tangan kanan Nando itu meyakini bahwa atasannya itu, atau yang lebih seperti temannya itu menyukai Zara.

Sederas HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang